Antara Passion dan passion … Mari Kita Renungkan

passion-060409

Hari-hari ini umat Kristen sedang memasuki masa mengenang penderitaan Yesus menjelang penyaliban-Nya di kayu salib. Di kalangan jemaat HKBP, dikenal dengan passion. Ada yang memulai partangiangan nanti malam sampai Kamis. Kalau di jemaat kami, partangiangan akan dilakukan Rabu dan Kamis. Juga malam hari. Warta Jemaat alias tingting di gereja kami dua Minggu yang lalu tercantum himbauan kepada warga jemaat untuk tidak lagi merayakan pesta sampai Paskah minggu depan. Kasihan juga bagi yang berulang tahun antara tanggal  30 Maret sampai 12 April 2009 dan berkeinginan merayakannya yang harus “menahan diri” untuk tidak merayakannya dalam bentuk pesta.

 

Semula aku juga agak heran, kenapa mesti ada kebijaksanaan seperti itu. Apalagi setelah aku tahu bahwa di jemaat lain tidak diberlakukan seperti itu. Ya, sudahlah, bisa jadi pemimpin jemaat mempunyai pertimbangan masing-masing.

 

Apa yang engkau bayangkan saat mendengar perkataan passion? Yang aku ingat, pertama kali mendengarnya adalah ketika masih usia SMP. Saat itu aku diminta menemani mamakku mengikuti partangiangan passion malam hari di gereja. Dimulai Senin dan berakhir Kamis. Liturginya adalah pembacaan peristiwa salib, dan lagu-lagunya dari Buku Ende yang bernada sendu dan sedih. Begitu juga warga jemaat yang hadir mengikuti kebaktian, sangat sedikit yang mengobrol dengan suara keras. Prinsipnya, semua harus sedih, atau paling tidak, mengesankan turut bersedih. Sampai hari Jum’at Agung. Apalagi saat marulaon na hohom (ibadah mengenang detik-detik kematian Yesus di kayu salib di mana mayoritas peserta ibadah menggunakan pakaian hitam, dan ibu-ibu menyampirkan ulos), tidak klop rasanya kalau ’nggak berurai air mata. Setelah marulaon na badia (perjamuan kudus), barulah suasana terasa sedikit mencair.

 

Perasaan dan pemahaman yang sama ternyata masih melekat pada sebagian besar (kalau bukan semua …) warga jemaat saat ini. Dan, tingting untuk menunda pesta seakan membuktikan hal tersebut. Pertanyaannya, apakah kita memang harus bersikap seperti itu?

 

Entahlah kalau orang lain, tapi aku sendiri tidak terlalu setuju dengan bersikap sedih seperti itu. Dengan mengimani bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah bagian dari suatu karya keselamatan (persisnya: mahakarya), maka sikap yang pas menurutku adalah;

(1)    prihatin. Dengan melihat rangkaian peristiwa (dimulai dengan peristiwa Yesus dielu-elukan ketika memasuki Yerusalem, penghujatan, teriakan untuk menyalibkan-Nya, taman Getsemane, lalu bukit Golgota), di mana sangat jelas sifat manusia yang melekat sampai sekarang: memuja sesuatu yang dianggap mendatangkan ”keuntungan” yang sama mudahnya berbalik menjadi lawan, pengkhianatan, komersialisme, emosional yang spontan, lalu sifat pengecut; selayaknyalah kita bercermin. Seberapa dalam sifat-sifat itu ternyata masih melekat dan membentuk karakter kita sebagai orang Kristen?

(2)    penyesalan diri. Dalam satu titik kulminasi, di saat itulah kita memang sewajarnya bersedih. Bukan menjadi larut sehingga berlama-lama dalam suasana duka.

(3)    bersyukur dan bersukacita. Perasaan inilah sebenarnya yang harus mendominasi setiap orang percaya. Mengenang pengorbanan Yesus di kayu salib dengan penuh harapan dan sukacita bahwa kematian-Nya pasti membawa kehidupan yang kekal. Dan inilah arti sebenarnya dari perkataan passion tersebut.

 

Meyakini bahwa kata passion tersebut diadaptasi dari bahasa Inggeris, maka aku mencari artinya dengan membuka kamus kembali. Kata tersebut sangat dekat denganku, karena tahun-tahun belakangan ini kata tersebut dijadikan winning theme bagi Tim Penjualan perusahaan tempatku bekerja saat ini; yakni winning in stores with passion. 

 

Menurut The Oxford Paperback Dictionary edisi 1994, passion berarti strong emotion, especially anger or love; dan great enthuasism for something; the object of this.  Artinya perasaan yang kuat, khususnya untuk amarah atau cinta, dan antusiasme yang besar untuk sesuatu yang menjadi obyek perasaan tersebut. Pas-lah dengan apa yang aku jelaskan di atas. Tidak ada secara spesifik tentang perasaan bersedih-sedih, bukan?  

Ada lagi yang khusus, yaitu Passion (dengan huruf ‘P’ besar), yang berarti the sufferings of Christ on the Cross alias penderitaan Kristus di salib. Jadi, kalau mau mengacu kepada peringatan penderitaan Yesus di kayu salib, maka yang harus dipakai adalah Passion (dengan huruf ‘P’ besar). Bagaimana mengenang penderitaan-Nya di kayu salib? Lihatlah tiga poin yang aku sampaikan di atas: prihatin, penyesalan diri, lalu bersyukur dan bersukacita. Bagaimana menurutmu?

2 comments on “Antara Passion dan passion … Mari Kita Renungkan

  1. horas amang… setauku makna “passion” dalam kisah sengsara Yesus bukanlah “strong emotion, especially anger or love; dan great enthuasism for something; the object of this”… “passion” diambil dari bahasa Yunani “paschein” kemudian berkembang ke bahasa Latin “passio”, artinya “sengsara”…
    jadi peristiwa “passion” dimulai pada Palmarum, yaitu ketika Yesus dielu-elukan di Yerusalem dan rakyat menyambutnya dgn daun palem…
    kemudian kalo ada peraturan HKBP yg melarang segala macam pesta pada minggu passion, sebenarnya bukan cuma HKBP, di gereja Katolik juga ada peraturan serupa sepanjang 40 hari prapaskah begitu juga pada masa advent, di gereja tidak boleh ada pemberkatan pernikahan… masa2 ini adalah masa2 pertobatan, makanya warna liturginya ungu (tanda perkabungan / pertobatan)… kita baru bersukacita pada penghujung masa ini yaitu Minggu Paskah, karena Dia telah bangkit dari kematian…

Tinggalkan komentar