Dari Konsistori-11: Eh, Ada Amang Pareses di Sermon Parhalado?

Jum’at, 21 Juni 2013 pas jam delapan malam aku tiba di komplek gereja. Sebagaimana biasa, aku sempatkan ke kamar mandi. Mencuci muka, dan buang air kecil setelah melakukan perjalanan beberapa jam dari kantor di Pasar Minggu. Melirik dari jendela ke konsistori, terlihat kawan-kawanku parhalado sedang berdoa dipimpin oleh seorang penatua, itu yang membuatku urung masuk. Apalagi ketika aku lihat dua orang kawan penatua (keduanya masih aktif sebagai karyawan swasta) berjalan di lorong, akupun menantikan mereka untuk sama-sama masuk ke konsistori. Setelah saling bersalaman di antara kami, tentunya.

Aku masuk, dan langsung mengambil tempat di kursi paling ujung yang kosong. Beda dengan kedua kawanku yang mengambil tempat di barisan kanan, aku tidak bersalaman dengan seorang pun sesuai tradisi yang aku pelihara manakala datang terlambat agar tidak mengganggu konsentrasi yang lebih dulu sudah ada di ruangan. Di sebelah kiriku duduk seorang ibu penatua. Di sebelah kanan? Tentu saja ‘nggak ada, karena kursiku berada paling ujung di barisan tersebut. “Siapa bapak yang ada di sebelah inang pendeta itu, inang?”, tanyaku melihat sosok berjas yang duduk berseberangan hampir pas di hadapanku yang dipisahkan oleh meja. “Bah, yang ‘nggak kenalnya amang? Itulah praeses kita yang sekarang, amang Colan Pakpahan”, jawab inang sintua yang aku tanya.

Aku heran, karena acaranya adalah pembagian tugas pelayanan untuk ibadah Minggu yang akan datang dan partangiangan wejk. Biasanya sermon parhalado dimulai dengan diskusi Epistel yang akan menjadi khotbah partangiangan wejk di minggu depan. Seakan mendengar pertanyaanku, inang pandita pun angkat bicara: “Karena ada yang baru datang, maka perlu saya ulangi apa yang tadi saya sudah sampaikan. Bersama kita saat ini ada amang pareses yang akan memimpin diskusi kita karena amang pandita resort lagi sakit. Dan kebetulan karena saya juga harus berkhotbah di punguan ama, maka sermon kita malam ini kita awali dengan pembagian tugas pelayanan minggu depan. Setelah itu amang pareses akan memimpin diskusi”. Bah, hebat kali praeses kami yang sekarang ini, pikirku. Betapa baiknya mau datang menggantikan peranan pendeta resort yang sedang sakit. Luar biasa! Aku salut dengan hamba Tuhan yang seperti ini …

Ketika ibu pendeta membahas warta jemaat dan khususnya tentang Taman Bacaan yang sedang dirintis dengan meminta perhatian agar warga jemaat menyumbangkan buku, aku usulkan untuk membuat tanda terima dari Gereja. “Di wejk kami sudah aku umumkan himbauan tersebut dan juga sudah berbicara langsung dengan beberapa orang secara tersendiri agar bersedia menyumbangkan buku. Menurutku, sebaiknya kita sediakan tanda terima buku tersebut sebagai bukti penyerahan dari warga jemaat. Kita harus mengapresiasi, paling tidak, dengan mewartakan nama para penyumbang sekaligus berterima kasih kepada mereka”, yang langsung diiyakan oleh ibu pendeta dengan menjanjikan bahwa hal itu akan dikerjakan oleh pegawai tata usaha Gereja.

Usai pembagian tugas pelayanan, bu pendeta segera beranjak ke ruang Sekolah Minggu yang berada di sebelah konsistori untuk memimpin ibadah punguan ama. Acara selanjutnya adalah pembacaan khotbah partangiangan yang dilakukan oleh penatua bergiliran yang kali itu adalah ketua Dewan Diakonia yang kalimat-kalimat pembukanya memuji dua orang penatua yang menentukan efektivitas diskusi setiap sermon parhalado, utamanya ketika membahas nas khotbah. Karena menyebutkan namaku, malah membuatku kurang senang, yang aku ekspresikan dengan berkata kepada inang sintua yang ada di sebelahku, “Koq mesti begitu diucapkan amang sintua itu. Terlalu berlebihan, dan ‘nggak pantas disampaikan di saat seperti ini.”.

Karena aku memang menyukai diskusi – apalagi tentang firman Tuhan dan Gereja – maka aku pun memberikan tanggapan tentang nas khotbah yang sedang disampaikan. Beberapa kali, karena di antaranya menanggapi pendapat dan pertanyaan dari sesama penatua lainnya. Setelah semua menyampaikan pendapat, maka amang pareses memberikan pendapatnya dan komentar yang antara lain:

(1)    memuji ketepatan waktu memulai sermon dengan tingkat kehadiran yang bagus sambil memandang papan yang bertulisan nama pelayan tahbisan sebagai dasar perhitungannya, yang juga aku koreksi karena di papan tersebut masih tercantum penatua yang sudah meninggal dunia tahun lalu

(2)    memuji bahan sermon yang sudah disiapkan (lalu bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan itu, sambil tidak lupa memberikan petunjuk pembuatan bahan sermon, yang antara lain dikatakan bahwa cukup dengan membaca perikop tanpa harus dipusingkan dengan membaca bahan-bahan lain termasuk tafsiran karena firman Tuhan mampu menjelaskan dirinya sendiri …)

(3)    karena nas perikop yang sedang dibahas saat itu adalah tentang regenerasi Elia kepada Elisa maka beliau juga memotivasi kami untuk jangan menyerah dalam mencari calon penatua (memang saat ini sedang diumumkan tentang pencarian calon sintua untuk masa pembelajaran yang akan dimulai Agustus 2013 yang akan datang), dan juga berbagi tentang pengalaman beliau dengan para pendeta yang ada di distrik yang beliau pimpin sejak akhir tahun 2012 yang lalu dan rencana yang akan dilakukan untuk memperbaiki kualitas para pendeta agar sesuai dengan tuntutan jemaat saat ini

Beberapa hal yang disampaikan membuat beberapa penatua tersenyum penuh arti menanggapinya namun tidak “berani” menyampaikan pendapat secara langsung yang membuatku tertawa tanpa suara. Melihat hal itu, beliau berkata, “Dari tadi saya lihat amang Sintua Tobing tertawa terus, nampak banyak yang sebenarnya yang ingin ditanyakan …”. Aku tetap tertawa-tawa saja tanpa menanggapi kalimat beliau karena merasa geli saja dengan respon beberapa kawan penatua yang selama ini bersikap kritis namun tidak begitu memanfa’atkan kesempatan berbicara dengan beliau.

“Karena sekarang sudah lewat jam sepuluh dan sesuai kesepakatan kita tadi untuk tidak melebihi jam sepuluh harus selesai, maka saya sampaikan terima kasih untuk kesempatan bertemu dengan semua parhalado di jemaat ini. Saya senang melihat keaktifan diskusi tadi dan sangat senang bisa bertemu lagi dengan kalian pada masa yang akan datang untuk melihat perkambangan dan kemajuan pelayanan di tempat ini sesuai dengan yang tadi saya sampaikan …”, kata amang pareses hendak menutup pertemuan malam itu. Inang pandita diperbantukan sudah bergabung kembali setelah selesai memimpin ibadah di punguan ama.

Pada suatu kesempatan, aku ‘nyeletuk: “Ma’af,amang, hari ini amang datang ke sermon parhalado karena amang pandita resort sedang sakit, apakah kalau beliau sakit pada masa-masa mendatang amang akan datang kembali memimpin sermon menggantikan beliau yang sakit?”

***

Sepulang sermon yang dihadiri amang pareses, dini hari itu aku singgah di salah satu SPBU menuju rumah untuk mengisi BBM yang memang sudah nyaris kosong. Ketika disapa dengan sangat ramah sambil menanyakan apakah aku baru pulang dari kantor sambil melihat seragam yang aku pakai – keramahan yang beda daripada biasanya … – diberitahu oleh laki-laki petugas pompa bensin tersebut bahwa harga BBM sudah naik beberapa menit yang lalu, barulah aku sadar ternyata sudah hari yang baru dan segera memaklumi kenapa banyak polisi yang mangkal di lokasi dan seputaran SPBU itu.

Sambil menunggu pengisian selesai, aku sempatkan melihat iPhone yang dari tadi aku charge di mobil dan melihat ada dua kali panggilan tak berjawab (missed call) dari amang pandita resort dan pesan-pendek beliau yang segera saja aku baca: Husangkap do st tangianghononmu ahu ala demam hape di tambai ho, ai sadihari ahu marsahit umbahen pola di dok ho st di sermon holan na marsahiti ahu manang hami pandita?

Aku terkesiap, pasti ada yang ‘nggak beres, pikirku. Walau sudah dini hari – karena pentingnya menjawab – maka segera aku telepon beliau (dan juga karena ada keyakinanku bahwa beliau pasti belum tidur karena sedang sakit demam seperti yang disampaikan …). Setelah mendengar keberatannya (yang lumayan panjang juga karena diimbuhi dengan hal-hal lain yang menambah “keseraman” situasi yang dialami beliau karena kedatangan amang praeses untuk memeriksa situasi yang sebenarnya karena menerima surat dan laporan beberapa orang tentang kepemimpinan beliau selama menjabat sebagai pendeta resort di jemaat kami …), aku pun menjelaskan situasi yang sebenarnya. Karena aku merasakan bahwa beliau akhirnya memahami bahwa ada yang “kurang memahami” dan atau sengaja “memelintir” ucapanku, maka percakapan pun aku hentikan.

Di rumah, aku sempatkan mengirim pesan-pendek ke beliau dengan kalimat sebagai berikut: Adong hape dongan parhalado on na mansai lomo rohana marbada jala adong roha pamola-mola. Ndang adong hudokhon na parsahit-sahit pandita. Ala sungkun2 do rohangku di haroro ni amang praeses, jala didok haroro nasida manguluhon parsermonan ala marsahit do amang pandita resort, binahen na husungkun: “Molo marsogot haduan marsahit muse, rodo muse amang pareses manguluhon sermon di son?”. Manang ise na paboahon barita na so toho i, rade do ahu patumpolhon manang sadihari, asa unang somal haliluon di parhaladonta. Horas ma, amang pandita.

Sebelum berbaring tidur, aku merenung koq bisa-bisanya terjadi hal seperti itu. Di satu sisi aku sangat salut dengan kecepatan penyampaian berita ke pendeta resort (belum sampai satu jam selesai sermon, laporan sudah sampai ke beliau …) cuma sayangnya, hal sebaik ini terjadi pada hal yang buruk. Walau pak pendeta ‘nggak bersedia memberi tahu siapa pelapor alias “pembisik” beliau, aku ‘nggak mau mereka-reka apalagi menuduh siapa gerangan sang pelaku yang sangat kreatif tersebut. Aku lalu berdoa dan menyampaikan isi hatiku kepada Tuhan, Sang Kepala Gereja tentang apa yang baru saja aku alami. Tak lupa aku memohon ampun untuk kesalahan yang aku perbuat karena ada orang yang menjadi salah tanggap dan ada juga yang sempat terluka dengan ucapanku, sambil memohon kekuatan dari Tuhan agar aku dimampukan mengampuni orang-orang yang punya maksud tidak baik tersebut. Siapapun dia itu!