Aku Mulai Membayarnya …

Desember tahun lalu aku dipanggil atasan langsungku. Diajak bicara berdua, tentang sesuatu yang penting dan harus diambil keputusan. Yaitu tentang rencana memindahkanku ke luar Jakarta. Sesuatu yang sudah aku duga, sehingga tidak terlalu mengejutkan lagi bagiku. “Saya tahu Anda sudah lama meminta untuk bisa kembali ke field. Hari ini saya menawarkan untuk pindah ke Sumatera …”, kata beliau memulai pembicaraan yang dilanjutkan dengan kalimat-kalimat lainnya. Intinya, aku harus pindah, dan sudah ada orang yang sudah dipersiapkan menggantikanku di posisi yang sekarang ini. 

Memang, aku sudah kepingin pindah kembali menjadi petugas di lapangan. Dan itulah yang ditawarkan pada hari itu. Seharusnya aku gembira. Namun, ternyata tidak. Sebagaimana yang aku sampaikan pada saat itu kepada beliau, “Betul, pak. Aku sudah lama meminta untuk kembali ke lapangan. Selain memang aku sudah empat tahun di pekerjaanku sekarang, juga supaya aku jangan kehilangan sense di lapangan. Aku sudah memintanya sejak dua tahun lalu, dan terima kasih sudah menawarkannya hari ini. Namun sayang sekali, aku harus minta ma’af, harus menyampaikan kepada bapak bahwa aku belum bersedia untuk pindah sampai akhir tahun ini …”.  Alasan utamaku sebenarnya adalah statusku saat ini yang sedang menjalani masa persiapan untuk menjadi penatua (sintua), yang akan berakhir dengan penahbisan pada Agustus tahun ini. Aku khawatir, kalau pindah ke luar Jakarta kerinduanku untuk menjadi pelayan tahbisan bisa terbengkalai karena belum tentu jemaat yang akan aku dapatkan di tempat baru masih membutuhkan tambahan calon penatua. Menunggu tiba saatnya nanti? Aku ragu ceritanya bisa jadi berubah. Dan aku juga sudah mempersiapkan diriku untuk menerima penahbisan tahun ini.

Konsekuensinya? Sudah tentu aku batal mendapatkan fasilitas-fasilitas yang lebih baik yang berhak aku dapatkan sebagai pemimpin tim penjualan di wilayah yang dipercayakan padaku (selain dua bulan gaji sebagai kompensasi alias “uang pindah” …). Dan pekerjaan yang akan diberikan padaku nantinya belum tentu sebergengsi jabatan yang aku pegang saat ini (tapi aku sudah siap dan harus siap dengan kondisi apapun yang akan aku dapatkan …).

Begitulah, aku melihat ini sebagai bagian dari tuntutan untuk mewujudkan kerinduanku menjadi pelayan tahbisan. Istilahnya, aku mulai membayarnya. Dan aku tidak akan mundur, karena aku percaya Tuhan pasti menjanjikan sesuatu yang lebih indah di balik ini. Hal yang seperti itulah yang aku sampaikan kepada keluarga untuk membesarkan hati mereka.

2009: Auli Ber-Natal Pertama Kali

Saat masih di Surabaya, suatu kali ada pesan masuk dari mak Auli. Karena masih di ruangan meeting, aku hanya sempat melihat sekilas. Tidak ada pesan, selain kesan bahwa ada pengiriman gambar. Aku coba membuka, tetapi tidak bisa karena aku tidak ’ngerti caranya (maklumlah, punya ponsel hanya untuk bertelepon dan berpesan-pendek …). Karena sibuk dengan persiapan acara National Distributor Convention, dengan mudah hal itu terlupakan olehku.

Malamnya, ketika akan tidur, mak Auli menelepon: ”Macam mana sih papa ini? Tadi sebelum tidur, Auli nanyain: ’Koq papa belum membalas esmees Auli, ya ma? Itu tadi dia mengirim gambar sepatunya yang baru dibeli untuk dipakai perayaan Natal sekolah Minggu …”. Astaga, ya Tuhan, aku sudah melalaikan satu hal yang penting. Selain memberitahukan kejadian yang sebenarnya sambil meminta ma’af – dan bertanya tentang sepatu dengan lebih detil – karena sudah malam dan Auli sudah tidur, aku pun berjanji untuk membalas pesan-pendeknya besok pagi. Dan itulah yang pertama kali aku lakukan hari itu.

Tahun 2009 ini menjadi istimewa, karena dalam usianya yang tujuh tahun inilah pertama kali Auli ikut bernatal ”dengan sebenarnya”. Lho? Iya, maksudnya baru tahun inilah Auli ikut dalam prosesnya sejak awal. Yaitu ikut latihan menari dan berliturgi setiap Minggu usai ibadah pagi. Inilah salah satu perubahan sejak aku menjadi calon penatua. Tahun lalu Auli tidak ikut kegiatan Natal sekolah Minggu (hanya sekadar hadir …), setelah tahun sebelumnya Auli hanya ikut berliturgi (itupun secara dadakan, yaitu langsung tampil berbarengan dengan anak-anak balita lainnya …).

Setiap latihan, aku selalu menyempatkan mengintip Auli latihan bersama kawan-kawannya. Mengintip? Iya, karena mereka latihan di lantai dua gedung Sekolah Minggu, dan sengaja pintunya ditutup oleh guru Sekolah Minggu supaya anak-anak bisa konsentrasi latihan karena tidak terganggu oleh ”penonton”. Dan kami orangtua mengikuti latihan paduan suara di ruangan lantai bawah. Aku melihat perubahan yang cukup berarti, Auli sekarang kelihatan mudah bergaul dengan kawan-kawannya yang notabene baru saja dikenalnya sejak aktif latihan Natal. Puji Tuhan, karena sebelumnya dia termasuk anak yang tidak mudah bergaul dengan orang-orang. Mungkin karena di rumah kami hanya dia seorang yang usia kanak-kanak, sementara bergaul dengan anak tetangga juga merupakan kesempatan yang langka …   

Begitulah, ketika tiba saatnya pada Sabtu itu, kami pun turut terlibat dalam mempersiapkan Auli. Dengan segala pernak-perniknya. Perlu disiapkan juga baju ganti lainnya, karena Auli memainkan peran dalam sendratari. Jadi, beda baju liturgi dengan baju menari. Alangkah sukacitanya melihat anakku yang sangat antusias dalam mengikuti perayaan Natal ini. Apalagi tatkala dia tampil di panggung, rasanya kepingin melihatnya lebih lama lagi dengan aksinya. Salah satu hasil jepretanku langsung aku kirimkan via ponsel ke mertuaku laki-laki di Medan usai acara, yang kemudian beliau langsung bertelepon dengan Auli. Dengan bangga Auli berceloteh menceritakan pengalamannya malam itu merayakan Natal.

Sesuai inisiatif dariku, usai perayaan Natal, kami orangtua yang tergabung dalam paduan suara (yang sebagian besar anaknya masih ikut Sekolah Minggu) pun beranjak ke kantin di komplek gereja. Di sana sudah dipersiapkan hidangan untuk makan malam bersama. Pengusahanya adalah seorang anggota paduan suara kami. Jadi, kloplah sudah. Sebagian besar kawan-kawan sesama anggota paduan suara tidak menyangka ada acara lanjutan seperti itu, karena ini baru pertama kali setelah sembilan tahun paduan suara tersebut eksis. Terlihat semua menikmatinya dengan gembira.

Pulang ke rumah sudah hampir jam dua belas. Capek. Tapi aku sangat merasakan kebahagiaan yang berbeda malam itu. Kiranya Natal tahun 2010 menyajikan kebahagiaan yang lain, tentunya …

Pak Kapolsek Ber-Natal di Gereja Kami

 

Ketika pertama kali diperbincangkan di sermon parhalado bahwa ada sekumpulan perantau akan merayakan Natal di gereja kami, aku menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan ketika ada yang ‘nyelutuk: “Bagaimana akhirnya permintaan kapolsek itu?”, aku belum menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa.  Perantau bernatal dan ada polisi, tidak ada yang luar biasa ‘kan? 

Tapi ketika percakapan berlanjut di pelataran gereja – dan aku pas berada di kelompok parhalado yang ternyata terlibat dalam proses “pemberian izin” pemakaian gereja untuk acara Natal itu, ceritanya ternyata menjadi lebih menarik. Usai sermon kala itu, aku ‘ngobrol dengan calon pendeta, sintua parartaon, dan seorang sintua aktivis gereja, beginilah obrolan tersebut (disampaikan dalam bahasa Batak):

A          : ’Gimana ceritanya itu perantau yang ber-Natal di gereja kita ini?

B           : Itulah, semula ada yang menelepon saya dari polsek sini. Mengaku sebagai kapolsek. Semula dia bilang baik-baik, mau memakai gereja kita ini untuk merayakan natal bersama kawan-kawannya sesama perantau. Bagus juga, ‘kan dan kita juga bangga ada orang Batak yang jadi kapolsek di lingkungan kita ini pula. Tapi kemudian dia menyuruh pendeta datang ke polsek untuk pembicaraan selanjutnya. Jadi, aku mintalah amang calon pendeta yang datang ke sana. Bukan pendeta ressort.

A           : Kurang sopan juga dia itu. Masak sudah mau numpang di gereja kita, masih memerintah kita pula mendatanginya, seolah-olah kita pula yang berkepentingan.

C           : Waktu saya ke sana, kesannya dia orang yang arogan. Memaksa, dan kayaknya kalau kita tak penuhi permintaannya akan repot keamanan kita beribadah nantinya. Untung saja tanggal yang dimintanya masih kosong, jadi kita bisa memenuhinya. Kalau ’nggak, apa jadinya? Waktu itu aku meminta untuk membuat surat ke gereja supaya resmi.

A           : Aku lihat juga di suratnya yang ditujukan ke gereja. Ternyata dia ketua panitianya. Tapi koq pakai kop surat polsek, ya? Mentang-mentang kapolsek …

 

Aku diam saja. Tidak berkomentar. Hanya, di dalam hati aku memprihatinkan kejadian dan sikap kapolsek itu. Aku membayangkan alangkah indahnya kalau dia yang datang ke gereja menjumpai pendeta. Selain memohon izin, juga dapat bersilaturahim dengan warga gereja. Bukankah polisi adalah juga pelayan masyarakat, sebagaimana juga pendeta yang adalah pelayan jemaat? Pendeta tidak gila hormat, sebagaimana kapolsek juga tidak akan berkurang martabatnya kalau datang ke gereja. Tentu saja kesannya akan sangat berbeda. Kalau datang, kemungkinan besar pak kapolsek datang bersama rombongan (sebagaimana yang biasa terjadi dengan para pejabat di negeri kita ini yang suka ”karnaval” kayak rombongan sirkus kalau ke mana-mana …), tentulah ada yang non-kristiani di dalam rombongannya. Bukankah itu dapat menjadi teladan bagi orang lain (termasuk juga anak buahnya semua), bahwa sang kapolsek adalah orang yang mampu menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah pemimpin umat yang merupakan bagian dari masyarakat. 

Ini membuktikan bahwa kita semua masih punya banyak ”pekerjaan rumah” untuk dibereskan. Salah satu di antaranya adalah yang seperti ini … 

Andaliman-58 Khotbah 31 Januari 2010 Minggu Septuagesima

 

Hai keluarga, hiduplah dengan takut akan Tuhan

 

Nas Epistel: Kolose 3:18 – 4:1

3:18 Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.

3:19 Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.

3:20 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.

3:21 Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.

3:22 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan.

3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

3:24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.

3:25 Barangsiapa berbuat kesalahan, ia akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.

4:1 Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga.

 

Nas Evangelium: Mazmur 128:1-6

128:1Nyanyian ziarah. Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya!

128:2 Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu!

128:3 Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu!

128:4 Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan TUHAN.

128:5 Kiranya TUHAN memberkati engkau dari Sion, supaya engkau melihat kebahagiaan Yerusalem seumur hidupmu,

128:6 dan melihat anak-anak dari anak-anakmu! Damai sejahtera atas Israel!   

 

Minggu ini disebut dengan septuagesima, yang artinya tujuh puluh hari menjelang kebangkitan. Persiapan yang mulai dilakukan untuk memasuki masa-masa pra-Paskah, Paskah, yang merupakan rangkaian peristiwa kebangkitan Yesus dari alam kubur.

 

Salah satu persiapan yang perlu dilakukan adalah yang berhubungan dengan keluarga, persisnya hubungan antara suami, isteri, dan anak-anak. Dalam artian, bagaimana masing-masing pihak memahami posisinya di tengah-tengah keluarga dengan cara bersikap yang tepat terhadap anggota keluarga lainnya.

 

Ep ini ditulis oleh Paulus dalam konteks kehidupan pada masa itu yang sebagian tentu saja sangat jauh situasinya dengan masa sekarang. Situasi yang sangat berbeda pada saat itu, namun pesan yang disampaikannya masih tetap relevan dengan situasi pada masa kini.

 

Dalam budaya Yahudi pada masa itu, peranan seorang isteri hampir sama sekali tidak ada harganya karena dianggap hampir sama dengan – ma’af – komoditi atau benda. Hal yang hampir sama terjadi dalam kehidupan Yunani, di mana isteri hanyalah sebagai – ma’af lagi – asesori dalam rumah tangga. Tidak ada hak bicara, dan harus patuh, tunduk mutlak terhadap suaminya. Bahkan ada tradisi yang mengatakan posisinya hampir sama seperti budak. Begitu juga posisi seorang anak terhadap orangtuanya (dalam hal ini adalah ayahnya), sangat tergantung pada sikap dan tindakan orangtuanya tersebut. Seorang ayah punya hak mutlak terhadap anaknya, bahkan yang berujung pada kematian! Jujur saja, meskipun terjadinya pada masa lalu, namun menurutku sikap seperti itu masih juga terjadi belakangan hari ini … Duduklah di depan televisi dan tontonlah berbagai program teve yang menamakan dirinya sebagai reality show (dengan berbagai kemasan sehingga aku pun sulit membedakan dan mengingat stasiun teve mana yang menayangkan program tersebut …), situasi tersebut di atas seakan-akan dihadirkan-kembali dalam kehidupan kini dan di sini …

 

Nah, Ep Minggu ini memesankan bahwa hubungan dalam keluarga adalah bersifat tanggung jawab, bukan lagi kekuasaan. Yaitu bertanggung jawab terhadap posisinya masing-masing dan memainkan peran sesuai dengan tanggung jawab yang diemban masing-masing. Yng kuat melindungi yang lemah, yang lembut memberikan kehangatan, jadi saling mendukung satu sama lain dan menjadi pelayan (= ”hamba”) satu sama lain. Dan semua itu dilaksanakan dengan bersikap seakan-akan sedang berhadapan dengan Kristus yang jadi panutan. Dan pada akhirnya, semua itu akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang telah menetapkan masing-masing orang pada peran yang harus dijalankannya.

 

Nyanyian ziarah Mazmur yang menjadi Ev Minggu ini memberikan kekuatan tentang upah yang akan didapatkan oleh keluarga yang menjalankan peranan sebagaimana yang disampaikan oleh Ep di atas. Dengan takut akan Tuhan dalam menjalankan fungsi dalam keluarga, maka damai sejahtera adalah upah yang dijanjikan dan upah yang pantas diterima oleh masing-masing orang dan masing-masing keluarga.  

  

 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga dan tuntutan keras atas arogansi di tempat pekerjaan, adalah hal yang makin sering terdengar dalam kehidupan belakangan hari ini. Banyak faktor yang bisa dituding sebagai penyebabnya, namun jika kita kembali kepada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Paulus sebagaimana tertulis dalam Ep Minggu ini, aku yakin hel yang tidak patut tersebut tidak akan terjadi dalam kehidupan orang-orang Kristen. Ironisnya, dalam pemberitaan termutakhir hampir selalu melibatkan orang-orang Kristen di dalamnya sebagai pelaku dan ataupun korban. Menyedihkan sekali!

 

Fenomena ini seharusnya menjadi tantangan yang mengarahkan kita semua untuk kembali kepada ajaran kekristenan yang sebenarnya sudah ”mengantisipasi” hal ini pada abad-abad yang lalu. Kembali kepada peran, menjalankannya dengan sikap takut akan Tuhan, sambil berharap upah yang dijanjikan-Nya, itulah yang coba diingatkan-kembali oleh nas perikop Minggu ini.

“Oleh-oleh” dari National Distributor Convention (4): Tidak Ada Hujan di Hotel Shangri-la Surabaya. Percayalah!

Dalam beberapa kali pertemuan dengan manajemen Hotel Shangri-la Surabaya, salah satu topik yang sempat dibahas dengan sangat serius adalah tentang acara makan malam. Dengan berbagai pertimbangan – di antaranya karena semua ruangan indoor sudah dipakai oleh pihak lain – kami meminta acara makan malam pertama diselenggarakan di ruang terbuka (outdoor). Pilihannya hanya ada pada kolam renang (pool side) yang ternyata kapasitasnya tidak memadai untuk menampung tiga ratus orang dengan panggung terbuka. Aku sudah meminta untuk menutup kolam dengan papan sehingga di atasnya bisa disusun kursi dan meja, ternyata Hotel keberatan (tepatnya: tidak sanggup?). Apa boleh buat, kami tidak punya pilihan untuk mundur. Akhirnya ditetapkan makan malam pertama (07/12/09) di sisi kolam renang dengan memanfa’atkan teras restoran sebagai areal penyediaan makanan dan tambahan beberapa kursi dan meja.

 

Masih ada kendala. Bagaimana kalau turun hujan? Karena ruang terbuka, tentulah acara bisa bubar dengan terpaksa karena peserta sudah pasti tidak mau kehujanan. Hotel menawarkan pub (diskotik) yang berada di tengah hotel. Nah ini, dari hasil observasi kami, secara pribadi aku kurang setuju. Selain tempatnya yang juga sangat sempit, juga waktu untuk kami jadi dibatasi karena jam sembilan malam harus dibuka untuk umum. Padahal, kami sudah merancang untuk membuat acara yang khusus dan hanya untuk dinikmati oleh tamu-tamu kami saja. Kalau ada orang lain, tentulah mengurangi suasana keakraban. Juga yang namanya diskotik, tentulah menyediakan minuman (sangat) keras. Yang ini tentu saja tidak bisa dikontrol (dan berpotensi menimbulkan keruwetan sendiri karena semua orang termasuk di luar peserta convention yang akan bisa memesan minuman dengan mengaku-aku sebagai peserta …). Hal minum minuman keras ini menjadi satu pergumulan pribadi juga bagiku. Tapi, sekali lagi, apa boleh buat …

 

Dalam rapat terakhir, Hotel meminta konfirmasi dari kami tentang batas-waktu pemindahan penyusunan makan malam dari kolam renang ke diskotik, yaitu berdasarkan antisipasi (tepatnya: ramalan cuaca) kedatangan hujan. Hotel meminta jam tiga sore sebagai batas akhirnya, jika tidak ada konfirmasi maka mereka akan menyiapkan makan malam di kolam renang. Jika tiba-tiba turun hujan, maka otomatis semua akan dipindahkan dari kolam renang ke diskotik. Begitu juga kalau turun hujan, maka Hotel otomatis menyiapkan makan malam di diskotik. Sekadar info, beberapa terakhir hujan deras selalu turun. Inilah yang mempengaruhi Hotel bahwa hujan pasti akan turun juga selama convention ini. Itu artinya: tidak disarankan menyelenggarakan acara di ruang terbuka selama musim hujan ini.

 

Sejak pagi Michelle (staf Hotel yang ditunjuk sebagai petugas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan acara ini) beberapa kali menyempatkan diri untuk bertanya kepadaku, ”’Gimana, pak? Kelihatannya hari ini masih akan hujan. Di luar juga terlihat mendung. Mudah-mudahan sore nanti cerah, ya pak?”.  Aku hanya tersenyum sambil memintanya untuk tetap fokus bahwa acara makan malam akan diselenggarakan di kolam renang, bukan di diskotek. Namun mendekati tenggat (deadline) jam tiga sore, pertanyaan tersebut yang semakin gencar (karena Hotel harus bersiap-siap dalam merancang susunan peralatan dan perlengkapan makan malam, serta panggung tempat acara) mulai mengganggu kenyamananku yang sedang fokus pada acara convention yang sedang berlangsung di ballroom, sehingga aku berkata dengan sangat serius padanya,”Dengarkan, Michelle. Tadi malam menjelang tidur dan bangun pagi tadi, aku berdoa pada Tuhan untuk menunda hujan malam ini turun di hotel ini. Dan aku percaya, pasti Tuhan mendengarkan permohonanku karena aku memintanya dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, bantu aku untuk konsentrasi dengan jangan pernah lagi membicarakan tentang hujan yang akan turun malam ini supaya aku jangan ikut-ikutan ragu. Percayalah, tidak akan ada hujan malam ini …”.  Wajahnya yang manis, sejenak tertegun mendengar ucapanku. Lalu seperti biasanya, tersenyum sambil manggut-manggut. Tak jelas, apakah karena memahami ucapanku, ataukah mengaminkan perkataanku, atau sekadar basa-basi untuk menyenangkan hati tamu, entahlah … yang penting malam itu memang tidak turun hujan.

 

Menjelang jam sebelas malam ketika acara makan malam dan hiburan baru saja ditutup oleh pembawa acara, ada gerimis sebentar. Dan dengan sukacita aku merasakan rintikan hujan jatuh ke badanku yang saat itu aku rasakan menjadi sangat lembut. Di kamar, saat berdoa malam menjelang tidur, aku panjatkan puji syukurku kepada Tuhan yang malam itu aku merasakan betapa dekatnya dalam hidupku.