Andaliman-19 Khotbah 03 Mei 2009 Minggu Jubilate

jubilate-240409

Pujilah Tuhan dengan sorak-sorai, karena hanya Dia-lah pengharapan bagi kita!

 

Nas Epistel: 1 Tesalonika 2:13-20

Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi–dan memang sungguh-sungguh demikian–sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya. Sebab kamu, saudara-saudara, telah menjadi penurut jemaat-jemaat Allah di Yudea, jemaat-jemaat di dalam Kristus Yesus, karena kamu juga telah menderita dari teman-teman sebangsamu segala sesuatu yang mereka derita dari orang-orang Yahudi. Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami. Apa yang berkenan kepada Allah tidak mereka pedulikan dan semua manusia mereka musuhi, karena mereka mau menghalang-halangi kami memberitakan firman kepada bangsa-bangsa lain untuk keselamatan mereka. Demikianlah mereka terus-menerus menambah dosa mereka sampai genap jumlahnya dan sekarang murka telah menimpa mereka sepenuh-penuhnya. Tetapi kami, saudara-saudara, yang seketika terpisah dari kamu, jauh di mata, tetapi tidak jauh di hati, sungguh-sungguh, dengan rindu yang besar, telah berusaha untuk datang menjenguk kamu. Sebab kami telah berniat untuk datang kepada kamu–aku, Paulus, malahan lebih dari sekali–,tetapi Iblis telah mencegah kami. Sebab siapakah pengharapan kami atau sukacita kami atau mahkota kemegahan kami di hadapan Yesus, Tuhan kita, pada waktu kedatangan-Nya, kalau bukan kamu? Sungguh, kamulah kemuliaan kami dan sukacita kami.

 

Nas Evangelium: Yeremia 31:7-14

Sebab beginilah firman TUHAN: Bersorak-sorailah bagi Yakub dengan sukacita, bersukarialah tentang pemimpin bangsa-bangsa! Kabarkanlah, pujilah dan katakanlah: TUHAN telah menyelamatkan umat-Nya, yakni sisa-sisa Israel! Sesungguhnya, Aku akan membawa mereka dari tanah utara dan akan mengumpulkan mereka dari ujung bumi; di antara mereka ada orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung bersama-sama dengan perhimpunan yang melahirkan; dalam kumpulan besar mereka akan kembali ke mari! Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka; Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak sulung-Ku. Dengarlah firman TUHAN, hai bangsa-bangsa, beritahukanlah itu di tanah-tanah pesisir yang jauh, katakanlah: Dia yang telah menyerakkan Israel akan mengumpulkannya kembali, dan menjaganya seperti gembala terhadap kawanan dombanya! Sebab TUHAN telah membebaskan Yakub, telah menebusnya dari tangan orang yang lebih kuat dari padanya. Mereka akan datang bersorak-sorak di atas bukit Sion, muka mereka akan berseri-seri karena kebajikan TUHAN, karena gandum, anggur dan minyak, karena anak-anak kambing domba dan lembu sapi; hidup mereka akan seperti taman yang diairi baik-baik, mereka tidak akan kembali lagi merana. Pada waktu itu anak-anak dara akan bersukaria menari beramai-ramai, orang-orang muda dan orang-orang tua akan bergembira. Aku akan mengubah perkabungan mereka menjadi kegirangan, akan menghibur mereka dan menyukakan mereka sesudah kedukaan mereka. Aku akan memuaskan jiwa para imam dengan kelimpahan, dan umat-Ku akan menjadi kenyang dengan kebajikan-Ku, demikianlah firman TUHAN.

 

Minggu ini diberi nama Jubilate yang artinya “bersorak-soraklah bagi Allah, hai seluruh bumi”, yang dikutip dari Mazmur 66:1. Dengan mudah aku memahami bahwa sukacita (yang memang menjadi ciri utama orang Kristen) mendapatkan penekanan dalam perikop, Ev dan Ep.

 

Pada Ep, Paulus menguatkan hati orang-orang Kristen di Tesalonika yang menerima banyak perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya (mayoritas orang Yahudi) sebagai konsekuensi dalam mengikuti Kristus. Orang-orang Yahudi merasa terancam dengan ajaran yang baru, sehingga ada kekuatiran bahwa adat istiadat akan segera ditinggalkan oleh orang-orang yang telah menjadi Kristen. Ini jugalah yang seringkali dialami oleh orang-orang Kristen zaman sekarang. Atau sebaliknya? Karena ada juga sebagian orang menggunakan kekristenan sebagai alasan untuk meninggalkan adat istiadat, bukan? Bagiku, tentang hal ini, yang penting adalah apa yang dikatakan oleh Alkitab, karena pastilah Tuhan juga menciptakan kebudayaan sebagai salah satu kekayaan untuk memuliakan-Nya. Kalau memang bertentangan dengan firman, jangankan budaya, ajaran yang mengaku-aku kekristenan pun pastilah aku sisihkan.

 

Jika pada Ep orang Yahudi menjadi penghambat pertumbuhan kekristenan di jemaat, pada Ev diceritakan tentang seruan Yeremia pada bangsa Israel untuk menjadikan Tuhan sebagai pengharapan. Kesesakan yang dialami oleh mereka dalam pembuangan, akan berganti menjadi sukacita karena kasih setia Tuhan yang akan mengumpulkan mereka kembali ke tanah airnya dan menjadi suatu bangsa yang diberkati.

 

Hal menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya pengharapan dalam setiap kesulitan, itulah yang menghubungkan antara kedua perikop Ep dan Ev ini. Bersorak-sorailah dalam kesusahanmu, bersandarlah pada Tuhan, karena hanya Dia-lah yang pantas dijadikan pengharapan. Dan kemuliaan telah disiapkan-Nya bagi orang-orang yang percaya. Adakah yang lebih luar biasa daripada itu? 

 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

Jika mau dianalogikan, hidup kita ini sebenarnya kadangkala tidak jauh berbeda dengan kehidupan yang dialami oleh bangsa Israel di pembuangan. Pun kehidupan orang-orang Kristen yang menjadi jemaat di Korintus sebagaimana yang dicatat dalam Alkitab yang menjadi perikop Minggu ini. Kesulitan hidup (baik secara ekonomis, fisik, dan ataupun psikologis) yang kita alamai saat ini, adalah juga terjadi pada masa itu. Inilah sebagai bukti bahwa kehidupan memang selalu mempunyai persamaan, meskipun dalam zaman yang bertautan sangat jauh dimensi waktunya.

 

Satu hal yang mampu membuat kita tetap bertahan adalah pengharapan bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan kita. Dalam segala situasi kita diminta untuk selalu bersukacita. Sesuatu yang aneh, memang. Bagaimana mungkin mampu bersukacita di saat kita seharusnya menangis? Itulah iman orang Kristen. Segala sesuatu harus dilihat bahwa Tuhan turut campur dalam setiap perkara yang sedang kita hadapi. Dan pemeliharaan-Nya nyata bagi setiap orang yang menyandarkan diri kepada-Nya.

 

Sebagai pelayan jemaat, sukacita bisa kita dapatkan dengan menyampaikan firman Allah sebagai kabar sukacita kepada warga jemaat. Luka pada orang yang patah hati dapat  disembuhkan dengan mengetahui kehendak Allah yang disampaikan melalui firman.

 

Jika sedang terluka, teraniaya, putus asa, dalam kesukaran yang sangat berat, cobalah datang kepada Tuhan. Ingat kepada-Nya dan bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan sampai saat ini. Banyak orang bijak yang mengatakan bahwa sukacita dan kebahagiaan dalam hidup sebagian besar ditentukan bagaimana kita memandang kehidupan sebagai suatu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Hitunglah berkat yang sudah kita terima, jangan hanya melihat hidup yang cenderung makin sulit. Layaknya bunga mawar, lebih baik melihat kuntum bunganya yang merekah dengan semerbak mewangi daripada mengeluhkan duri-durinya yang sangat banyak yang seringkali membuat kita terluka …

 

Datanglah pada Tuhan dengan sorak-sorai luapan perasaan kegembiraan. Di sana tersedia kelegaan. Bukan pada yang lain, yang hanya bisa sesaat dan … sesat!

Do’a HKBP dan Caleg yang Gagal

caleg-hkbp-gagal-200409

Aku suka mengikuti perkembangan politik mutakhir. Tapi sangat tidak suka kalau politik praktis dibawa-bawa masuk dalam lingkungan gereja. Kalau ‘gitu, politik-tidak-praktis (atau bukan-politik-praktis?) bisa dong masuk ke gereja? Apa boleh buat, karena politik sudah terlanjur masuk dalam lingkungan gereja. Bukankah pemilihan para penguasa di HKBP dan ”efek sampingnya” (baca: efek lanjutan) adalah juga sarat dengan nuansa politik? Menurut beberapa saksi mata, suasana gedung tempat berlangsungnya Sinode Godang (SG) saat itu adalah tidak jauh berbeda dengan gedung DPR/MPR Senayan di Jakarta ketika berlangsung Sidang Umum. Ada Tim Sukses, ada bagi-bagi cindera mata, dan ada juga … (ma’af, ini sengaja dikosongkan karena tabu dan tidak pantas!). Bahkan beberapa bulan sebelumnya suasana kehidupan gereja di beberapa tempat yang sangat punya kepentingan langsung dengan hasil SG sudah semakin ”panas” dan ”tak pantas”. Beberapa kawan sampai berkomentar bahwa tidak ada beda antara keduanya jika ditilik dari aspek haus kekuasaan, bahkan lebih parah di HKBP! Ya Tuhan, ampunilah kami ini …

 

Mungkin itu salah satu faktor mengapa belakangan ini HKBP terkesan berubah dan menjadi ”sangat dekat” dengan kehidupan politisi. Hampir di setiap distrik dilakukan ibadah pemberangkatan caleg (= calon anggota legislatif = calon legislator) yang kadangkala juga dihadiri Eforus dan Pucuk Pemimpin lainnya yang datang jauh-jauh dari Kantor Pusat di Pearaja Tarutung yang tentu saja menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

 

Di jemaat kami ada lima orang caleg (yang sampai sekarang belum pernah terbetik kabar bahwa ada di antaranya yang berhasil menjadi legislator). Pemimpin jemaat pun kelihatannya memberikan ”perlakuan khusus” kepada mereka dengan selalu mencantumkan nama mereka pada lembaran buku acara ibadah untuk dibawakan dalam do’a syafaat. Setiap Minggu. Juga diadakan ”partangiangan khusus” sehari menjelang Pemilu (yakni Rabu, 08 April 2009) sehingga menggusur partangiangan passion hanya menjadi satu kali saja (yakni Kamis, 09 April 2009). Luar biasa!

 

Belakangan hari ini seringkali ditayangkan di televisi tingkah laku aneh dan sangat memrihatinkan dari para caleg yang pasti gagal jadi anggota dewan terhormat. Meninggal karena stress, bunuh diri, sakit jiwa, mengusir warga yang tidak memilihnya yang sebelumnya menumpang di permukiman yang disediakannya, protes ke panitia pemilihan dengan – ma’af – membuka baju, dan mengambil-balik semua yang diberikan ketika kampanye (ada semen berzak-zak, kaos dan atribut, bahkan karpet di masjid …).

 

Bagaimana dengan caleg (yang dido’akan) HKBP? Puji Tuhan, sampai hari ini di jemaat kami belum ada caleg-gagal yang kedengaran bertingkah aneh yang seperti itu. Belum? Mudah-mudahan tidak, sampai seterusnya …

Belajar Berenang dan Belajar Dari Berenang (2): Menjadi Serupa atau Sekadar Mengikuti Jejak Langkah, … dan Oksigen Kehidupan!

27032009017

Aku baru tahu ternyata kolam renang pada klub kebugaran ada juga yang punya ukuran olimpiade (olympic) dan semi olimpiade (semi olympic). Jadi bukan hanya untuk sekadar rekreasi, namun juga sebagai sarana olahraga untuk pembinaan prestasi. Pemanfaatan kolam renang sebagai fasilitas yang kami dapatkan sebagai anggota tahunan dari pengembang perumahan (developer) tempat kami tinggal beberapa tahun ini ternyata ukurannya barulah semi olimpiade (padahal aku sudah “penuh perjuangan“ untuk “menaklukkannya“ …). Bayangkan, dari semula hanya bisa “gaya batu“ (’nyemplung lalu tenggelam dan timbul pada posisi semula, artinya tidak ada pergerakan), akhirnya aku bisa berenang dengan gaya dada sampai sepuluh kali jarak terjauh. Terus terang, aku bangga dengan prestasi tersebut.

 

Suatu Sabtu kami sekeluarga diajak berenang ke klub kebugaran lain yang ada pada komplek perumahan yang dekat dengan komplek kami. Lebih lengkap (lebih banyak dan variatif fasilitas olahraga dan rekreasi lainnya dibandingkan dengan klub kebugaran di tempat kami yang hanya tersedia kolam renang dan bulu tangkis), dengan kolam renang yang lebih luas karena ukurannya adalah olimpiade. Di kolam renang tetangga ini semula aku tertantang untuk berenang pada jarak yang terjauh, namun hampir mendekati setengahnya aku sudah harus menyerah karena tersadar sudah banyak meminum air kolam …).

 

Kecewa dengan pencapaian yang buruk, aku lalu merenung sejenak sambil memandangi titik terjauh yang tidak bisa aku arungi itu. Memang jaraknya dua kali lipat dibandingkan dengan jarak terjauh pada kolam renang tempat aku biasa berenang. Tapi, masa’ aku harus menyerah begitu saja? Masa’ aku tidak bisa membuat kemajuan yang berarti?

 

Akhirnya pandanganku tertumbuk pada jarak terjauh satunya lagi, yakni sisi lebarnya yang kira-kira setengahnya daripada jarak terjauh panjangnya tadi yang gagal aku tempuh. Dan itu masih lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak terjauh pada sisi panjang di kolam renang tempat aku biasa berenang. Sekali mencobanya, dan … berhasil! Lalu berulang-ulang dengan kecepatan yang semakin meningkat. Ketika istirahat sejenak, aku sempat berpikir: apa lagi yang bisa aku lakukan setelah keberhasilan ini? Tiba-tiba muncul ide: bagaimana kalau berenang dari ujung ke ujung tersebut tanpa harus sekali pun menghirup udara?  Artinya berenang di dalam air tanpa sekalipun menyembul ke atas air untuk menghirup udara! Wah, menantang juga!

 

Aku memulai yang pertama dengan tekad bulat harus bisa. Sebagaimana yang acapkali terjadi pada hal lainnya, untuk memulai yang pertama biasanya lebih sulit dibandingkan dengan yang berikutnya. Tanpa diduga, ternyata aku sanggup berenang di bawah air dari ujung yang satu ke ujung lainnya! Sudah tentu untuk putaran berikutnya menjadi lebih mudah. Dan membuatku ketagihan, sehingga aku melakukannya berulang-ulang seakan-akan baru mendapatkan mainan yang baru.

 

Hal yang aku ingin berbagi (sharing) dengan pengalamanku ini adalah: setiap akan memulai, aku selalu menanamkan dalam fikiranku bahwa aku pasti bisa berhasil mencapai titik terjauh. Dan itu memang terbukti. Satu lagi – dan ini benar-benar exciting – saat di bawah permukaan air adalah situasi yang paling sulit karena harus menahan nafas sambil menggerakkan kaki dan tangan untuk menempuh jarak mencapai tujuan. Perlu konsentrasi tinggi. Namun semua kesulitan itu tidak berarti apa-apa begitu sampai pada tujuan, lalu muncul ke permukaan air, dan menghirup udara segar. Alangkah nikmatnya oksigen setelah tidak mendapatkannya di bawah permukaan air selama beberapa menit!

 

Jika dibawa dalam kehidupan iman kita, analogi tersebut menjadi sangat relevan. Pertama, iman kita selalu ingin membawa kita ke dalam kesempurnaan. Ingin menjadi serupa dengan Yesus Kristus! Sanggup? Silakan, jika mampu. Jika tidak? Ya, mengikuti jejak langkahnya sajalah dulu. Sambil tetap berupaya bahwa suatu saat kita akan mampu sampai ke sana. Jadi, jangan mudah berkecil hati. Apalagi menyerah dan berputus asa. Jangan! Kedua, biasakan fokus pada tujuan. Dan yakinkan diri bahwa kita sanggup melakukannya. Dan yang ketiga, akan ada suatu sukacita yang besar sebagai ”upah” setiap kali kita mampu keluar dari pergumulan sebagai pemenang. Coba bayangkan, berenang di bawah permukaan air tanpa sekalipun mendapatkan pasokan oksigen sambil berjuang untuk mencapai titik terjauh, lalu tiba pada apa yang dituju sambil muncul di permukaan air dan merasakan nikmatnya udara segar yang berisi oksigen yang banyak. Luar biasa! Tidaklah berlebihan kalau pada titik tersebut, aku selalu merasakan seakan-akan nyawaku kembali pada ragaku. Dan satu teriakan nyaring sebagai ekspresi sukacita adalah ketika aku sadar bahwa aku masih hidup … Haleluya!

Andaliman-18 Khotbah 26 April 2009 Minggu Miserekordias Domini

misericordias-domini

Jadilah gembala yang baik, yang mengabdi dengan rendah hati dan menjadi teladan. Dan sebagai domba, patuhlah kepada pimpinan gembala yang baik.

 

Nas Epistel: 1 Petrus 5:1-5

Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”

 

Nas Evangelium: Mikha 7:14-20

Gembalakanlah umat-Mu dengan tongkat-Mu, kambing domba milik-Mu sendiri, yang terpencil mendiami rimba di tengah-tengah kebun buah-buahan. Biarlah mereka makan rumput di Basan dan di Gilead seperti pada zaman dahulu kala. Seperti pada waktu Engkau keluar dari Mesir, perlihatkanlah kepada kami keajaiban-keajaiban! Biarlah bangsa-bangsa melihatnya dan merasa malu atas segala keperkasaan mereka; biarlah mereka menutup mulutnya dengan tangan, dan telinganya menjadi tuli. Biarlah mereka menjilat debu seperti ular, seperti binatang menjalar di bumi; biarlah mereka keluar dengan gemetar dari kubunya, dan datang kepada TUHAN, Allah kami, dengan gentar, dengan takut kepada-Mu! Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Kiranya Engkau menunjukkan setia-Mu kepada Yakub dan kasih-Mu kepada Abraham seperti yang telah Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang kami sejak zaman purbakala!

 

Pada Rabu malam yang lalu – saat partangiangan wejk pada sesi diskusi – pak pendeta yang memimpin setelah penyampaian khotbah, menjawab pertanyaanku tentang para pelayan dan pelayanannya. Ketika menjelaskan perikop yang diambil dari kitab Titus, beliau membawa warga jemaat pada bab sebelumnya yang mencantumkan syarat-syarat menjadi diaken/pelayan jemaat. Lalu aku menceritakan sekaligus bertanya tentang situasi dan kondisi pelayanan yang cenderung menurun yang mungkin saja disebabkan oleh para pelayan yang sudah semakin jauh dari standar yang dimaui oleh Alkitab. Lalu beliau menjawab dengan “pengakuan jujur” bahwa pada saat ini tidak ada lagi yang tersembunyi. Bahwa para pucuk pemimpin HKBP di Kantor Pusat pun tidak kompak antara satu dengan yang lain dan lebih cenderung kepada penyelenggaraan organisasi dunia daripada pelayanan rohani, dan juga hal-hal buruk lainnya. Salah seorang penatua yang menjadi utusan Sinode Godang pun “mempersaksikan” bahwa pemimpin HKBP yang terpilih pada SG yang lalu bukanlah pilihan Allah. Sangat menarik dan begitu terbuka sampai-sampai sesepuh wejk menyampaikan bahwa apa yang dibicarakan jadikanlah bukti bahwa warga jemaat masih mencintai HKBP sehingga ingin HKBP menjadi lebih baik dalam pelayanannya denga berjalan sesuai dengan firman Tuhan …

 

Pada setiap kesempatan yang tepat aku juga menyampaikan pendapatku tentang perlunya para pelayan berhati hamba, bukan bersikap sebagai penguasa. Dimulai dari yang paling sederhana, yakni cara berpakaian. Berulang kali aku bilang kepada isteriku bahwa lebih baik menyediakan kemeja batik (dan berlengan pendek) untuk dipakai beribadah di gereja daripada memakai jas. Besar kemungkinan penatua (sintua) yang memakai jas double dress punya “beban psikologis” untuk menolong orangtua sepuh yang tertatih-tatih mencari tempat duduknya sendirian. Dan berdasarkan pengalamanku, orang-orang dapat dengan mudah “berubah sikap” sebagai pengaruh pakaian yang dipakainya. Beberapa kali aku melihat “orang sederhana” langsung berubah menjadi “orang berkelas” ketika sudah memakai jas. Hal ini berlangsung juga di lingkungan pelayanan gereja …

 

Minggu ini bernama Miserikordias Domini yang menurut Wikipedia diterjemahkan dari bahasa Latin berarti grace the Lord atau dalam bahasa Jerman disebutkan Gnade des Herrn  yang artinya adalah “kasih karunia Tuhan”. Gembalakan dalam kasih karunia Tuhan. Komposer besar Wolfgang Amadeus Mozart menggubah komposisi musik klasik yang sangat indah dengan judul yang sama dengan nama Minggu ini.

 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

Kualitas pelayanan di jemaat dengan menonjolkan kerendahan hati dan bukan kekuasaan adalah suatu kerinduan bagi banyak warga jemaat. Bukan untuk menghakimi, cobalah luangkan waktu sejenak untuk membayangkan wajah-wajah para pekerja di jemaat kita. Dari semua yang dapat dibayangkan (artinya: masih bisa diingat karena pelayanannya …), siapa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai pelayan yang berhati hamba yang bisa dijadikan contoh teladan? Tidak banyak? Atau malah tak ada? Memprihatikan! Sekaligus, puji Tuhan, karena berarti masih banyak hal yang masih perlu didoakan dan dikerjakan untuk jemaat.

 

Jika engkau termasuk salah seorang pelayan jemaat, dan secara jujur mengakui masih belum termasuk pelayan berhati hamba, tetaplah haleluya. Puji Tuhan, inilah saatnya untuk mengubah diri untuk menjadi yang lebih baik.

 

Sebagai warga jemaat biasa, kita pun dituntut untuk melakukan perubahan agar menjadi pelayan yang berhati hamba. Lihatlah sekeliling, ada banyak hal yang membutuhkan perhatian dan penanganan kita. Perikop Ep menjanjikan bahwa saat Gembala Agung tiba (artinya kedatangan Yesus yang kedua kalinya nanti …), orang-orang yang menjadi gembala yang baik akan mendapat mahkota yang tidak pernah layu (yaitu kehidupan kekal di sorga). Dan jangan congkak, karena itu sifat yang ditentang Allah. Rendah hatilah, karena itu sifat yang disukai oleh Tuhan.

 

Bukan sebatas pekerjaan dalam pelayanan jemaat, melainkan juga relevan dalam pekerjaan “sekuler“ kita sehari-hari dalam menafkahi keluarga. Jika memosisikan pekerjaan kita tersebut sebagai bagian dari pelayanan (sehingga kita melakukannya dengan sukacita dan kerendahan hati di bawah pimpinan Tuhan), banyak hal ajaib yang menghampiri kita. Jujur saja, sampai saat ini aku tidak berani mempersaksikan bahwa kedatanganku di Jakarta dan keberadaanku saat ini tidak terlepas dari pimpinan Tuhan. Dan itu semua adalah hal yang luar biasa! Aku tidak “membawa apa-apa“, hanya bermodalkan apa yang ada padaku saat itu. Dan aku sangat merasakan pemeliharaan Tuhan. Bukankah engkau juga begitu merasakannya?

 

Jika perikop Ep memosisikan diri kita sebagai gembala, maka perikop Ev mengingatkan sekaligus menguatkan kita sebagai domba yang selalu memasrahkan dirinya pada pimpinan gembala. Dengan tetap setia pada gembala yang baik, banyak hal luar biasa yang akan menghampiri kita, sebagaimana bangsa Israel yang dipimpin Tuhan ketika keluar dari pembuangan dan perbudakan.

 

Pada sisi yang lain – sebagai domba – kita adalah makhluk yang lemah, tidak punya kekuatan. Domba adalah hewan yang sama sekali tidak mempunyai senjata untuk mempertahankan dirinya (sangat berbeda dengan kambing, hewan sejenisnya yang diperlengkapi dengan tanduk untuk mempertahankan diri). Begitulah kita yang hidup di tengah dunia yang seringkali tidak ramah. Hanya kepada Allah saja kita memohon kekuatan. Dia telah menebus dosa kita dengan harga yang sangat mahal dan memberikan kasih karunia sebagai balasan murka-Nya yang tidak selalu mengingat-ingat dosa kita di masa lalu. Dengan memasrahkan diri pada pimpinan-Nya, di sanalah terletak kekuatan kita. Dan bangsa-bangsa lain – bisa juga diartikan sebagai orang-orang lain – akan melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda sehingga mereka menjadi takluk dan mampu melihat kemuliaan Tuhan.

Makassar, Aku Datang …

makassar-sultan-hasanuddin

Hari ini – sebagai bagian rangkaian tugas setelah tanggal 03 April yang lalu ke Surabaya – hari ini aku sedang berada  di Makassar. Ada beberapa kegiatan yang sudah aku jadualkan dan aku akan datang dengan artikel menariknya.

Selain hal lainnya, aku punya suatu kesukaan yang tidak dimiliki oleh banyak orang, yaitu mengunjungi situs sejarah. Dalam setiap kesempatan – terlebih saat bertugas di luar Jakarta – aku akan mencari kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang hal-hal yang berbau sejarah; dan jika tersedia cukup waktu, aku pasti akan berupaya untuk mengunjunginya.

Ketika di Makassar kemarin – saat ini aku sudah kembali di Jakarta – aku sempat mengunjungi makam Sultan Hasanuddin, pahlawan nasional yang berjuang gigih sehingga Belanda menjulukinya sebagai “ayam jantan dari Timur”, yang nama beliau diabadikan sebagai nama bandara internasional di Makassar.  Pada komplek makam tersebut terdapat juga situs peninggalan tempat di mana Hasanuddin dilantik sebagai raja Gowa. Sangat sederhana, hanya terdiri dari tiga buah batu alam sederhana untuk menjejakkan kaki. Tidak dapat aku bayangkan suatu kemegahan jika dibandingkan pelantikan raja-raja dalam peradaban modern saat ini. Baik raja yang sesungguhnya (yang punya kekuasaan dan wibawa yang jelas …), maupun sekadar raja (yang hanya memiliki makna simbolis dan atau bahkan sesuatu “cagar budaya” yang harus dilestarikan …).

Ini termasuk yang paling baik yang pernah aku kunjungi untuk sebuah pemakaman kuno. Lokasinya yang sederhana ditata dengan baik dan sangat bersih. Dua orang “penunggunya” (ini manusia beneran, yakni petugas dari Dinas Purbakala) menjalankan fungsinya dengan baik. Penjelasan juga lengkap juga dapat mereka berikan. Bukan hanya tentang Sultan Hasanuddin, namun juga anak, ayah, kakek, dan raja-raja Gowa lainnya yang makamnya terawat dengan baik di komplek tersebut. Ada bekas lilin-lilin yang sudah mengecil dan padam, juga taburan bunga beragam warna, yang kelihatannya untuk mengantar do’a. Tak bisa aku bayangkan bagaimana mereka berdo’a di makam yang sangat sempit itu. Sangat sempit, karena pusara Hasanuddin – dan beberapa pusara lainnya – dilingkupi dengan menhir batu gunung yang arsitekturnya menyerupai candi Hindu, sehingga menyulitkan bagi orang yang ingin duduk pun harus merunduk karena plafon-nya yang sangat rendah.  

Ketika asyik mengamati dan memotret, salah seorang petugas bertanya kepada kawan yang mendampingiku, tentang siapa diriku ini. Dari kejauhan aku mendengar jawaban yang kira-kira disampaikan demikian: “Oh beliau orang Jakarta yang sedang bertugas di Makassar ini. Sebelum pulang ke bandara, tadi meminta saya untuk mengantarkan ke sini. Saya pun meski orang Makassar belum pernah berkunjung ke makam ini. Beliau orang Kristen dan Batak, yang saya tahu memang suka berkunjung ke tempat bersejarah. Bukan untuk ‘nyekar atau sembahyang, tapi untuk menikmati suasana dan menambah pengetahuan.”. Baguslah, sehingga aku tak perlu lagi menjelaskan motivasiku berkunjung …

Ada juga bangunan bekas istana Raja Gowa yang terletak 2 kilometer dari kompleks makam. Namun, karena ketatnya waktu aku terpaksa harus menunda ke sana. Dalam perjalanan ke bandara, aku berjanji akan datang nanti pada kesempatan yang akan datang dan mengambil cuti untuk dapat mengunjungi semua situs yang ada …

Namun ada yang membuatku kecewa. Foto-foto yang bagus yang aku sempat jepret, ternyata tidak dapat dibuka. Kesal juga dengan Nokia N95 yang baru satu bulan aku pakai ternyata performanya jelek. Karena tidak ingin kecewa – dan mengecewakan – aku segera ke Mal Kelapa Gading tempat pembelian ponselku itu. Setelah diperiksa sejenak, lalu petugas Nokia menganjurkanku ke Nokia Care di Mall of Indonesia (MOI) di sekitar Kelapa Gading juga. Sampai di sana, petugas Nokia Care menduga bahwa terjadi masalah dengan memory card ponsel tersebut, dan memintaku untuk datang kembali kemudian dengan membawa copy kuitansi pembelian dan kartu garansi. Memory card tersebut akan diformat-ulang (dengan resiko bahwa semua isinya akan hilang …). Untuk memperbaikinya dibutuhkan waktu dua minggu! Dua minggu? Alamak, selama itu? Aneh juga, untuk pengerjaan seperti itu saja dibutuhkan waktu yang sangat lama. Apa boleh buat, tak ada pilihan lain aku harus mengikuti sarannya. Aku jadi menyesal ketika beberapa hari yang lalu merekomendasikan kawanku seorang ekspatriat untuk menjatuhkan pilihan pada ponsel tipe ini, ketika menyadari bahwa kualitasnya tidak seperti yang aku bayangkan. Apalagi jika dibandingkan dengan betapa gencarnya Nokia saat memasarkan ponsel ini pada mulanya.

Mohon ma’af untuk ketiadaan foto-foto yang bagus yang bisa aku tampilkan mendampingi tulisan ini.

By tanobato Dikirimkan di Umum Dengan kaitkata