Hari Ini Aku Datang (bersama tiga perempuan perkasa) …

 

Ada kegembiraan padaku hari ini. Sukacita yang lebih dari biasanya. Kerinduan untuk memiliki media seperti ini sudah sangat lama menggumpal dalam dada.

Aku bukanlah siapa-siapa. Apalagi jika dibandingkan dengan orang lain yang dirasakan lebih memiliki sesuatu yang sangat menonjol. Aku hanya punya tekad yang kuat dan harapan untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik.

Untuk itu, sangat dibutuhkan dukungan dari banyak orang. Itulah engkau, sahabatku …

Salamku,

St. Rodlany A. Lbn. Tobing, SE, MBA, MMin

Hadiah Ultah Terindah dari Bandar Djakarta

Pemotongan kue dan penyalaan lilin ulang tahun Keluarga Besar TOPASTU

Ulang tahunku hari ini barengan dengan abangku dirayakan dengan makan siang bersama keluarga di Bandar Djakarta, salah satu restoran terbaik di kawasan wisata Ancol, Jakarta. Lokasinya strategis, mudah dijangkau dengan harga yang juga terjangkau. Tentang harga ini, tentu saja relatif. Jika punya uang banyak sewajarnya harga pun dianggap jadi murah. Kalau uang sedikit, bisa saja semuanya jadi terasa mahal.

Hadiah Tambahan Pelayanan Gratis untuk Perayaan Ulang Tahun

Hari ini banyak juga yang merayakan ulang tahun. Bukan cuma kami, di seberang tempat kami ada keluarga besar yang merayakan ulang tahun kakeknya yang sudah uzur. Ada lima grup yang merayakan ulang tahun, kurang lebih. 

Pelayanan gratis dari Bandar Djakarta untuk perayaan ulang tahun dengan “grup musik dadakan” berupa karyawan dan karyawati mereka dengan upacara dadakan peniupan lilin diiringi lagu ulang tahun plus pukulan gendang, tetaplah merupakan sesuatu yang berkesan.

Itulah tadi yang ‘kumaksudkan dengan relativitas harga, ketika hati gembira — dengan suguhan makan laut yang lezat plus ritual tiup lilin gratis — membayar beberapa juta untuk 20 orang undangan menjadi tidak begitu mahal lagi …

Tukang Parkir Ramah, Itu Juga Hadiah

Bukan itu saja. Ada lagi hal lain yang membuatku sangat terkesan hari ini, yaitu seorang tukang parkir dengan pelayanan ekstra prima. Di tengah kemacetan akibat padatnya lalu lintas akibat banyaknya populasi mobil dengan keluarga yang sedang menikmati liburan sekolah — dimulai dari kemarin, di luar maupun di dalam kawasan Bandar Djakarta — parkiran pun penuh.

Agak spekulatif aku tetap membawa masuk mobil dengan berharap masih ada sedikit ruang buatku memarkirkan kendaraan. Di pinggir jalan sudah penuh, di dalam apalagi! Nah, di sinilah muncul sang tukang parkir istimewa ini.

“Mau parkir, pak? Mari sini masih ada satu lagi”, katanya sambil membuka portal dan menggiringku ke satu-satunya space yang masih ada. “Ambil kiri dikit, pak. Mundur teratur. Maju dikit ke kanan. Sekarang lurus pelan-pelan. Yang sabar, pak. Jangan buru-buru, nah begitu baru rapi”, katanya memberi komando, tetap dengan keramahan yang belum pernah aku dapatkan dengan “tingkat dewa” seperti ini. Buru-buru aku ganti uang tips supaya lebih besar nilainya karena saking gembiranya. Namun, apa yang terjadi?

“Ma’af, ‘nggak usah. Saya masih mau kerja lagi mengurus yang lain dulu”, katanya setengah berteriak sambil berlari menjauh ketika aku menghampirinya untuk memberikan lembaran uang kertas yang aku sudah siapkan tadi. Kami semua penumpang dalam mobilku tertegun, terharu, dan jujur membuatku sempat merinding.

Andai Indonesia Punya Lebih Banyak Orang Seperti Beliau
Luar biasa masih ada orang seperti itu di republik ini. Apa karena sudah kelebihan uang? Kemungkinan besar tidak, kalau menilik posisinya yang “cuma” ma’af, petugas parkir. Namun, tetap perlu mengingat “hukum relativitas” di atas.

Aku bayangkan andai para pemimpin, penguasa, pejabat, pengambil keputusan, atau apalah sebutannya di negara kita ini memiliki sikap yang sama, dampaknya pasti luar biasa. Tidak menerima uang ekstra karena merasa sudah cukup dengan bersyukur atas apa yang didapatkan sekarang ini, alangkah indah, damai dan sejahteranya negeri kita ini. Tentu saja harus dimulai dari diri sendiri, aku, Anda, dan kita semua.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Hadiah Ultah Terindah dari Bandar Djakarta”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/pardosagodang/62af2ddd3835000e6c5d9da3/hadiah-ultah-terindah-dari-bandar-djakarta

Tuhan, Hari Ini Aku Berulang Tahun Lagi

aku tahu

Kau tak di sini
walau apapun Kau pasti tahu

janganlah bosan dengan ungkapanku
setahun sekali ini
sejak puluhan tahun lalu

waktu aku masih anak
aku datang pada-Mu
digendong bapak
pertama dari sedikit itu

ketika mulai matang
aku bawa dia di sisiku
bersama hidup kian menantang
berjalan yakin bersama-Mu
satu-satu langkah mendatang

entah kapan
aku akan datang lagi
menghadapi-Mu sendirian
tanpa mampu untuk pergi
berseru dengan sisa keberanian
“anak-Mu aku ini!”

Discovery, 18 Juni 2022

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Tuhan, Hari Ini Aku Berulang Tahun Lagi”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/pardosagodang/62adf63bbb4486683a2de0f2/tuhan-hari-ini-aku-berulang-tahun-lagi

Bukan Karena Saya Sudah Mau Mati

Tadi pagi lagi asyik mengakses salah satu platform menulis langgananku mendadak ada telpon dari kantor gereja memintaku untuk ke RS Pelni di Petamburan. “Permintaan pasien supaya amang yang mendoakan ke rumah sakit”, demikian suara pendeta di ujung sana mengabarkan. Aku lihat jadwal pekerjaan hari ini, masih kosong sampai sore, artinya aku bisa pamit beberapa jenak untuk pelayanan sakramen kepada umat yang sedang membutuhkan tersebut. Setelah minta izin atasan, tentunya.

Oh ya, Minggu lalu aku masih berkomunikasi dengan pasien yang adalah warga jemaat lingkungan kami dengan menyampaikan selamat ulang tahun ke 76, dan beliau minta didoakan karena sedang sakit. Itu sebabnya aku bergegas. Namanya panggilan pelayanan umat, ‘kan? Dan sedang sakit pula …

Ketika di rumah sakit, sebelum dilayankan sakramen diberi kesempatan untuk keluarga dan pasien menyampaikan sesuatu ucapan. Yang aku suka adalah ketika pasien uzur tersebut mengatakan dengan mantap, “Walau banyak orang mengatakan bahwa sakramen ini untuk orang yang sudah mau meninggal, tapi saya mengimani bukan itu. Saya masih mau sembuh. Doakan saya, karena saya masih percaya kekuatan doa, apalagi yang disampaikan oleh hamba Tuhan.”.

Betul, sakramen itu dijalankan “hanya sekadar” sebagai pengingat akan Yesus yang sudah menebus manusia dari dosa (Lukas 22:19). Dan Agenda juga dengan lantang diucapkan: “Sebagai hamba Tuhan, percayalah bahwa dosamu sudah diampuni!”.

Seketika aku melihat kanker pankreas stadium lanjut yang diderita beliau menjadi stadium “bukan apa-apa”. Malah aku jadi diingatkan dengan perkataan: “imanmu yang menyembuhkan dan menyelamatkan” (Markus 5:24). 

Perjalanan kembali ke kantor dengan beberapa pekerjaan yang tadi harus ‘kutinggalkan pun jadi ringan, karena malah aku yang jadi dikuatkan. 

Sunter, 16 Juni 2022

https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/hospital-bed-no-people

https://www.kompasiana.com/pardosagodang/62aaffc6edb24b7f597107c2/bukan-karena-aku-sudah-mau-mati

Hati-hati, dan Bijaklah Menonton “Ngeri-‘ngeri Sedap”

Senin sore kemarin mendadak aku diajak nonton oleh kakak perempuanku bersama suaminya. Judulnya ‘Ngeri-ngeri Sedap (NNS). Menilik judulnya aku segera menduga ini film komedi, cocoklah untuk mengompensasi keletihanku usai virtual meeting dengan Filipina untuk product launching. Bioskopnya juga sangat dekat dengan tempatku berkantor. Ketika mulai penayangan, barulah aku tahu itu tentang keluarga Batak yang tinggal di kampung halaman (setelah melihat betapa indahnya Danau Toba di layar bioskop yang memang sangat lebar). Kloplah!

NNS bercerita tentang Marlina yang diperankan Tika Panggabean dan lebih dikenal sebagai “Mamak Domu” layaknya panggilan seorang ibu Batak merasa gelisah karena keempat anaknya, Domu (diperankan Boris Bokir) si sulung pegawai BUMN tinggal di Bandung dan sudah punya pacar perempuan Sunda, Sarma (diperankan Gita Bhebhita) anak perempuan satu-satunya dan bekerja sebagai ASN dan tinggal bersama keluarga tersebut, Gabe (diperankan Lolox) sarjana hukum yang diharapkan jadi jaksa atau hakim namun akhirnya menjadi pelawak di Jakarta, dan Sahat (diperankan Indra Jegel) sebagai si bungsu yang sarjana pertanian, lebih memilih tinggal bersama orang lain di Jogja daripada memenuhi panggilan tradisi untuk tinggal di kampung bersama orangtuanya, semakin jarang mengunjunginya di kampung halaman. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengatur sebuah pertengkaran hebat dengan sang suami, Pak Domu (diperankan Arswendy Beningswara) yang benar-benar mewakili laki-laki dewasa Batak dalam memimpin keluarga, supaya anak-anaknya segera pulang dari perantauan. 

Setelah mendengar informasi tersebut, keempat anaknya memutuskan untuk pulang dari perantauan. Ketika tiba di kampung, mereka terkejut karena mengetahui bahwa pertengkaran yang dimaksud hanyalah kebohongan belaka.

Setengan perjalanan NNS sangat menghibur penonton karena dipenuhi dengan akting yang menimbulkan tawa (apalagi ditonton oleh orang sepertiku: manusia Batak generasi baby boomer yang dibesarkan dengan tradisi Batak yang kental dengan kekristenan), namun ketika plot sampai pada konflik suasana berubah menjadi sedih dan menguras air mata. Hal yang mengingatkanku pada Keluarga Cemara, dan Toba Dream (yang juga bercerita tentang keluarga Batak yang mirip dengan NNS ini) yang otomatis membuatku khawatir, jangan-jangan plot seperti menjadi suatu fatsun film nasional supaya menarik untuk ditonton …

Selain menghibur, aku perlu memberi catatan setelah menonton film NNS ini yang menurutku tidak pas dengan keluarga Batak pada umumnya (apalagi kalau kepala keluarganya adalah laki-laki Batak sepertiku ini yang memang tidak jauh beda dengan Pak Domu dalam NNS tersebut):

  • Ketidakpatuhan anak-anak kepada orangtua, salah satu di antarnya ada pada dialog Domu dengan bapaknya: “Untuk perkawinan biar aku aja pak yang menentukan. Bapak ‘nggak usah ikut-ikut mengatur!”. Bagi orangtua Batak, mengawinkan anak adalah tanggung jawab mutlak yang berarti juga hampir semua hal ditentukan olehnya. Anak yang belum menikah dianggap belum manusia seutuhnya yang ditunjukkan di antaranya oleh belum dilibatkan dalam upacara adat karena belum punya kedudukan sebagai salah satu unsur dalam konsepsi dalihan na tolu.
  • Sikap perlawanan isteri kepada suami, yang ditunjukkan secara lugas oleh Mak Domu kepada Pak Domu ketika musyawarah keluarga yang segera saja diikuti oleh semua anak-anaknya, bahkan oleh Sarma satu-satunya anak perempuan yang selama ini tinggal dan patuh di rumah (jabu parsaktian). Bagi orang Batak, kepatuhan pada orangtua dan suami adalah suatu kemutlakan, bahkan walaupun seringkali tidak sesuai dengan keinginan individual. 
  • Sikap berdoa yang tidak khidmat, dengan lafas doa sebelum makan yang disampaikan Gabe, sang pelawak yang mengesankan sedang melawak dengan kalimat doa “ala milenial” bukanlah tradisi Batak yang sangat menjunjung tinggi rasa hormat kepada Tuhan. Sepanjang film ini tidak ada menunjukkan betapa anak-anak adalah orang-orang yang menjalani kehidupannya “dekat dengan gereja”. Menurutku, itu juga menjadi salah satu faktor sehingga dalam perjalanan hidup mereka kemudian sikap patuh pada orangtua (yang jelas-jelas ditekankan dalam Alkitab), campur tangan Tuhan dalam segala aspek kehidupan (termasuk perjodohan) menjadi sumber konflik dalam NNS ini. Sikap yang sangat berbeda yang ditunjukkan orangtua mereka yang respek kepada pak pendeta, walau terpaksa harus berpura-pura. 

Ada satu hal yang aku sangat setuju dengan ucapan yang dilontarkan oleh dua orang perempuan dewasa dalam NNS ini (Mak Domu dan Ompung Domu) yang disampaikan ke pak Domu menjelang “insyaf” dan sebelum film ini diakhiri. Kira-kira begini bunyinya:”Sudah saatnya kita orangtua ikut belajar untuk memahami anak-anak kita. Jangan berhenti belajar karena menjadi orangtua tidak pernah ada tamatnya. Dulu mereka disekolahkan tinggi-tinggi sampai harus merantau jauh supaya mereka maju dan berhasil dalam hidupnya, dan kita pun harus juga siap dengan kenyataan yang menjadi akibatnya.”.

Ucapan yang sangat bijak. Sikap bijak yang sama yang harus kita persiapkan manakala menonton film NNS ini, apalagi kalau harus bersama anak-anak di keluarga kita yang memang sudah punya impian sendiri dengan lingkungan pergaulan yang sangat jauh dari kita, orangtua generasi baby boomers

Baca juga di

https://www.kompasiana.com/pardosagodang/629acd31d2634513544e56d2/hati-hati-menonton-ngeri-ngeri-sedap