Jum’at, 14 Juni 2013 ketika pak pendeta resort menagih surat parhuriaon seorang warga jemaat yang akan menerima pemberkatan nikah dari seorang sintua, kembali aku mengingatkan pak pendeta untuk berhati-hati tentang urusan parhuriaon seseorang. Apalagi warga jemaat ini kabarnya akan kawin dengan warga jemaat dari salah satu gereja Pentakosta (atau pantekosta, belum jelas bagi semuanya …). Minggu sebelumnya surat parhuriaon tersebut sudah diminta oleh pak pendeta kepada inang sintua dimaksud, namun hasilnya nihil, sama seperti hari itu juga.
Pada sermon parhalado minggu lalu aku sudah mengingatkan pak pendeta bahwa tidak semua gereja Pentakosta memiliki kesepahaman teologi dengan HKBP. Jangan bicara teologi siapa yang benar dan salah, bagiku ada peraturan yang dianut HKBP dan harus dijalankan oleh semua orang yang masih menjadi anggotanya. Apalagi oleh pelayan, ‘kan?
“Hati-hati, amang pandita. Gereja (beraliran) Pentakosta tidak semua sama dengan HKBP. Dan tidak semua terdaftar sebagai anggota PGI”, kataku minggu lalu.
“Betul, amang sintuanami. Saya tahu ada juga gereja-gereja Pentakosta ini yang dimiliki oleh pribadi-pribadi. Ada yang pendetanya merangkap jadi pemilik gereja itu, ada juga pendeta itu yang mencari anggotanya yang semuanya adalah keluarganya sendiri yang menjadi jemaat. Tapi, yang ini sudah saya tanya langsung: ‘Apakah kalian melakukan baptis ulang? Dan apakah kamu juga sudah dibaptis ulang?’, dan dijawabnya dengan ‘tidak’. Itulah sebabnya saya mau meneruskan proses pemberkatan kawin mereka di gereja kita.”
Itulah pembicaraan saat sermon parhalado Jum’at dua minggu yang lalu. Kawan-kawan sesama parhalado tidak ada yang menanggapinya. Karena tidak perduli, atau tidak mengerti, aku pun tidak tahu …
Karena concern dengan hal ini – dan mengingat betapa sengsaranya beberapa orang pendeta yang “terpeleset” dengan tohonan-nya – maka di rumah aku sempatkan mencari tahu informasi yang berhubungan dengan hal ini. Aku ingat ketika masih kuliah di STT dulu aku punya buku yang menjelaskan tentang hal ini, bersamaan dengan informasi tentang perguruan-perguruan tinggi yang berada di bawah naungan organisasi PERSETIA. Aku tidak menemukannya, namun aku dituntun untuk membuka-buka lembaran Almanak HKBP 2013 (hal yang sangat jarang aku lakukan sebelumnya …) yang ternyata di dalamnya berisi informasi tentang gereja-gereja yang punya hubungan dengan HKBP (yang aku pahami sebagai satu “aliran” alias satu dogma karena gereja-gereja yang aku rasakan “jauh dan berbeda dengan HKBP” memang tidak ada tercantum di sana. Dan sinode yang disebutkan pak pendeta sebagai tempat calon pengantin itu berjemaat, tidak ada tercantum dalam daftar. Wah …!
Itulah sebabnya ketika hal itu dibicarakan kembali, aku kembali mengingatkan pak pendeta agar berhati-hati. Namun jawaban beliau masih sama dengan sermon parhalado sebelumnya: ‘nggak ada masalah, alias it’s okey.
“Amang pandita, aku sudah lihat di Almanak, dan gereja yang amang sebutkan itu tidak ada di dalam daftar yang dicantumkan sebagai gereja-gereja yang punya hubungan dengan HKBP. Jadi, sebaiknya pertimbangkan lagi tentang rencana memberkati perkawinan mereka yang ternyata sampai hari ini belum bisa menunjukkan surat parhuriaon-nya dari sinode gereja mereka yang pantekosta”
“Iya, amang sintuanami, tapi menurut saya ‘nggak ada masalah karena saya sudah menanyakan calon penganten yang menjawab bahwa dia ‘nggak dibaptis ulang karena gereja mereka juga mengakui baptisan kita yang dari HKBP. Cuma kita perlu menunggu surat dari sinode mereka saja sekarang ini,”, jawab pak pendeta yang hampir sama dengan jawabannya minggu lalu. Bedanya, kali ini beliau mengimbuhi dengan menjelaskan tentang teologi baptisan dan keanggotaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang dilengkapi dengan kritikan bahwa peraturan keanggotaan PGI sudah saatnya harus diubah …
“Menurutku, bisa saja calon penganten tersebut menjawab seperti itu karena dia tahu amang yang bertanya dari HKBP supaya proses pemberkatan perkawinannya jadi lancar. Tapi kalau yang bertanya adalah orang lain yang dari gerejanya sendiri, bisa saja jawaban yang diberikannya juga menjadi lain. Jangan-jangan, itu pulalah yang benar”, kataku masih berupaya untuk “mengingatkan”.
“Ada koq, amang gereja pantekosta di daftar Almanak kita itu. Kalau ‘nggak salah, saya pernah melihat”, tiba-tiba ada seorang inang sintua yang menyela sambil membuka lembaran Almanak berusaha mencari daftar gereja tersebut.
“Iya, inang memang ada. Lihat di urutan 21. Tapi itu bukan sinode gereja yang disebutkan amang pandita, karena gereja pantekosta yang dimaksud pak pendeta itu memang setahuku bukanlah anggota PGI. Aku sudah melihat daftar ini berulangkali, dan tetap tidak menemukan sinode gereja dimaksud. Jadi sebaiknya, pastikan amang pandita dululah kebenarannya. Jangan sampai repot nanti gara-gara ini. Argai hamu tohonanmuna i, amang panditanami. Unang pola dibela-bela hamu molo so toho do parhuriaonna, so pola adong untungna di hamu. Tumagonan manat di angka sisongon on.”, kataku lagi mencoba meyakinkan.
Puji Tuhan, yang semula beliau bersikeras, akhirnya “luluh” juga ketika aku ingatkan tentang tohonan, sambil berkata: “Betul juga kata amang sintua Tobing, memang ‘nggak ada untungnya bagi saya bersikeras tentang hal ini.”
Aku lega mendengarnya, karena berhasil menjauhkan beliau dari “pencobaan”. Mudah-mudahan ‘nggak ada masalah tentang hal ini di kemudian hari. Dan semoga beliau konsekuen dengan komitmen untuk tidak melayankan pemberkatan perkawinan bilamana memang terbukti bahwa calon penganten tersebut memang berasal dari sinode gereja yang bukan anggota PGI.