Ulang Tahun ke-45, Hari yang Sangat Mengesankan dan Menyukacitakan …

Rabu, 19 Juni 2013 yang lalu aku berulang tahun yang ke-45. Angka “keramat” bagi seluruh rakyat Indonesia mengingat tahun 1945 sebagai tahun kemerdekaan negara kita ini. Juga “keramat” bagiku karena sesuai peraturan perusahaan, usia 45 adalah batas minimum bagi setiap karyawan untuk memohon pensiun dini, sesuatu yang seringkali “menggoda” aku terhadap keputusan ini. Seringkali aku bertanya kepada Tuhan tentang hal ini, dan sampai sekarang aku masih menantikan jawaban dari-Nya …

Hari itu aku sengaja mengambil cuti, yang mengesankan tentang keistimewaannya. Rencanaku, aku akan bangun pagi lalu ke fitness center untuk berenang, sauna, hot steam, dan whirlpool dengan satu ambisi: menciptakan rekor pribadi, yakni pencapaian tertinggi dari yang selama ini aku lakukan. Lalu kami bertiga (aku, Auli yang sudah libur kenaikan kelas, dan mamaknya) akan ke Mal Taman Aggrek di Jakarta untuk membeli pakaian (persisnya celana panjang yang sama aku pakai untuk ke kantor dan ke gereja dengan merek yang aku merasa sangat cocok bertahun-tahun ini yang kondisinya sudah banyak yang lusuh dan bolong karena tuanya…) dengan voucher yang masih bersisa satu juta rupiah lebih lagi yang diberikan oleh salah satu Distributor ketika aku masih bertugas di Bandung tahun-tahun yang lalu (bukan gratifikasi, ya karena aku sudah melaporkan dan minta izin atasanku sesuai ketentuan dan peraturan Perusahaan tentang hal ini …). Makan siang di sana, lalu pulang ke rumah untuk mempersiapkan diri karena malamnya akan ada partangiangan wejk Betania di rumah kami.

Aku boleh saja berencana, namun tetaplah Tuhan yang paling menentukan … aktualnya berbeda dengan rencana semula.

Pemecahan Rekor Atas Nama Sendiri …

Pagi hari setelah bangun tidur dan berdoa tentunya, aku berangkat ke sport club tempat kami sekeluarga menjadi member untuk satu tahun ini. Sendirian, karena Auli ‘nggak ikut sebagai dampak dari mamaknya yang juga ‘nggak ikut karena memasak untuk persiapan partangiangan wejk malam harinya (semula kami berencana untuk mengadakan acara di restoran yang memang banyak terdapat di komplek perumahan, namun karena jam buka/tutupnya yang hanya sampai jam 10 malam sedangkan partangiangan wejk seringkali sampai jam sebelas karena ada diskusi, maka rencana tersebut kami batalkan).

Hari itu aku datang dengan ambisi yang sungguh-sungguh: memecahkan rekor atas nama diriku sendiri, dan benar-benar tercipta karena didasari oleh keinginan yang sangat kuat untuk mewujudkannya. Hari itu aku berhasil berenang dengan gaya dada (favoritku, karena nyaris sebagai satu-satunya gaya berenang yang aku kuasai …) 20 kali bolak-balik (biasanya “hanya” 10 kali …) untuk jarak pendek dan 5 kali untuk jarak terjauh (biasanya “hanya 2 kali yang tertinggi …). Selain itu, aku catatkan rekor terlama di cold whirlpool (biasanya 10 menit dan dengan catatan terlama 16 menit) dengan 30 menit dan catatan yang sama untuk hot whirlpool. Luar biasa!

IMG_2714[1]

Pemecahan Rekor Partangiangan Wejk …

Sesuai permintaanku, yang manjabui partangiangan wejk Rabu malam itu adalah keluarga kami. Dan tercipta juga beberapa “rekor”:

(1)   Jumlah yang hadir 8 kepala keluarga (yang terdaftar sebagai warga jemaat kami), 8 orang kaum bapak dan 9 orang kaum ibu serta 4 orang anak-anak; padahal biasanya ‘nggak pernah lebih dari 15 orang

(2)   Jadual pengkhotbah malam itu sebenarnya aku, tapi malam itu aku minta kesediaan lae-ku yang baru sore hari itu datang dari Surabaya setelah acara serah-terima tugas pelayanan pendeta dan akan bertugas di HKBP Cengkareng sebagai tempat pelayanan yang baru. Menyenangkan, karena hadir juga ito-ku dan bere-ku yang baru pertama kali itu bisa datang ke rumah kontrakan kami yang sekarang

(3)   Ada juga “kejutan”, tatkala seorang penatua yang sudah pensiun tiba di rumah dan aku songsong di garasi, menyampaikan tentang adanya keluarga mereka yang baru datang/pindah dari Surabaya yang tinggal di cluster dekat rumah kontrakan kami yang seharusnya dijemput namun ‘nggak bisa karena mobil amang sintua tersebut sedang dipakai anak dan isterinya (yang adalah boru Tobing) di rumah keluarga. Tidak berselang lama, rombongan keluarga lae-ku yang pendeta tiba, dan ternyata kenal dengan orang yang dimaksud sebagai warga jemaatnya ketika di Surabaya (bahkan saudara dekat dari isterinya yang boru Hutauruk, sedangkan dianya adalah ber-marga Tobing yang kemudian setelah martarombo aku marabang), lalu mendesak untuk segera dijemput. Dan kemudian juga ternyata sangat kenal dengan lae-ku yang dulu tinggal di Surabaya sebagai teman kompak anaknya laki-laki yang baru pindah ke komplek perumahan kami tersebut …). “Jonok hian do hape portibi on. Ndang nirimpu na boi muse hita pajumpang sadari on, hape pas minggu na salpu dope hita rap merayakan ulang taonhu di jabunami. Jala tinanda muse lae ni parjabu on na dongan kompak ni anakhu di Surabaya tingki doli-doli dope nasida …”, katanya sebelum diantarkan pulang ke rumahnya karena takjubnya.

(4)   Masih ada kejutan lain: anakku Auli boru hasian pertama kali dalam sejarah hidupnya mengiringi acara partangiangan dengan permainan pianonya (dengan piano Yamaha Clavinova yang baru kami beli dengan cara kredit setahun 02 Juni 2013 yang lalu). Aku dimintanya duduk di sampingnya (yang tentu saja aku penuhi dengan senang hati). Berulang kali dia menatapku sambil mensedekapkan kedua tangannya di dadanya yang mengisyaratkan perasaan tegang yang dialaminya, yang selalu aku tanggapi dengan senyum sambil berbisik: “Bagus banget, nak. Tenang saja …”.

IMG_2712[1]

(5)   Walau biasanya selalu ada diskusi setelah pengantar khotbah oleh pengkhotbah, malam itu tidak ada diskusi seperti itu. Hal ini aku “sengaja” karena pendeta yang berkhotbah adalah dari “luar” untuk membuatnya berbeda dengan yang biasa selama ini. Namun, setelah partangiangan ditutup dan aku sampaikan pengumuman (tentang penyempurnaan database warga jemaat yang minggu lalu dimintakan untuk mengisi-ulang formulir karena belum tercatat di data termutakhir, namun setelah aku periksa dengan teliti dengan Tata Usaha Gereja ternyata “terselip” di berkas Gereja sehingga ‘nggak diperlukan lagi pengisian formulir; lalu mengingatkan kembali bagi yang ingin menyumbang buku untuk Taman Bacaan Gereja …), terjadi diskusi yang hangat tentang berbagai hal. Persembahan, perpuluhan, Kantor Pusat, audit, verifikasi, dan pelayanan adalah hal-hal yang dibicarakan sehingga baru selesai menjelang jam setengah dua belas. “Inilah partangiangan wejk kita yang terlama selesainya. Selama ini sebelum jam setengah sebelas kita sudah pulang …”, kata salah seorang penatua yang maragenda malam itu tanpa pretensi negatif karena beliau juga ikut dalam pembicaraan yang hangat malam itu.

 

Begitulah kegiatan yang aku jalani bersama orang-orang yang aku kasihi pada hari dan tanggal yang bertepatan dengan ulang tahunku. “Makanan juga habis semua, pa. Dimakan, bukan dibungkusi untuk dibawa pulang. Memangnya masakanku enak juga, ya?”, kata mak Auli sambil duduk kelelahan karena capeknya mempersiapkan konsumsi dan lokasi (maksudnya: penataan ruang tamu kami dengan bunga sedap malam yang wangi, kursi-kursi yang jumlahnya sangat pas, dan lain-lain) partangiangan wejk malam itu yang untungnya dibantu oleh pariban-ku yang selalu setia membantu seperti biasanya setiap ada acara seperti ini di rumah. Oh ya, dan juga si mbak yang sangat rajin dan ‘nggak pernah mengeluh, melengkapi apa yang diperlukan di rumah.

Sangat capek, namun aku sangat bersukacita … Terima kasih, Tuhan!

Tinggalkan komentar