Modal Dengkul

Screen Shot 2019-12-16 at 12.48.50

Apa yang Anda bayangkan pertama kali manakala mendengar perkataan “modal dengkul” tersebut? Bisnis? Tak punya apa-apa? Atau sebaliknya – mengingat dengkul adalah juga suatu kekuatan untuk berdiri – suatu hal yang sangat positif? Ya, semuanya benar dan sah-sah saja, karena beda pengalaman berpotensi pula menimbulkan beda pemahaman.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian sebagai “modal yang tidak berupa uang atau harta, tetapi hanya berupa perkataan atau tenaga”. Dan perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan “perkataan” di sini hanyalah memang benar-benar sekadar perkataan alias ucapan, dan tanpa kuasa. Jangan bayangkan layaknya ucapan orang-orang berpengaruh. Bukan! Bukan dalam konotasi itu. Lebih pada ucapan yang merestui, kesediaan untuk ikut membantu, yahhh … tak lebih dari pada itulah.

Dan yang dimaksud dengan “tenaga” adalah kekuatan fisik. Sebatas kemampuan kekuatan manusia yang bersedia disuruh melakukan apa yang diperintahkan. “Aku bersedia disuruh melakukan apa saja dalam pekerjaan ini, tapi jangan minta uang dariku karena aku tidak memilikinya”, demikianlah agaknya kalimat yang dapat mewakili pengertian modal dengkul tersebut.

Nah, kalau dibawa ke ranah bisnis, maka dapatlah dipahami bahwa bisnis yang dijalankan dengan modal dengkul adalah usaha yang digerakkan dengan modal seadanya, bahkan cenderung minim. Hanya cukup untuk membiayai operasional sehari-hari, tidak punya kemampuan untuk melakukan investasi lagi. Sampai ada penghasilan dan atau suntikan dana suatu hari.

Apakah ada bisnis yang bisa membesar dengan dimulai oleh modal dengkul? Atau sekadar hidup, lalu mati sendiri? Sama dengan bisnis dengan kecukupan modal dengan tingkatan yang lebih tinggi, baik yang sekadar bermodal dengkul maupun bermodal berbakul-bakul, tetaplah punya peluang untuk maju, atau sebaliknya tutup buku. Kita tentu pernah dengar ada beberapa bisnis yang kemudian survive walau menengok sejarahnya dimulai dari hal yang sangat kecil. Dari sebuah garasi, misalnya. Ada juga yang dimulai dari sebuah gerobak minyak yang kemudian berproses menjadi SPBU, uang hasil celengan babi yang dipecahkan lalu menjadi berbagai perusahaan dengan skala bisnis meraksasa, sebuah mesin jahit yang kemudian jadi perusahaan konveksi, dan banyak hal luar biasa lainnya.

Masih berhubungan dengan dengkul dan modal dengkul, tapi kali ini dengan perspektif berbeda yang ternyata masih punya hubungan yang erat. Dari pemahaman bisnis yang cenderung diartikan sekular tersebut, aku ajak pindah ke “dunia lain”, yaitu spiritual alias rohani. Apa lagi kalau bukan Firman Tuhan?

Salah satu referensi menyebutkan bahwa Alkitab sama sekali tidak mencantumkan kata “dengkul” dari antara jutaan kata yang tercantum dalam rangkaian yang membentuk Kabar Baik tersebut. Jangan heran, apalagi kecewa, karena Alkitab hanya mencantumkan kata “lutut’ yang adalah sinonim dengan kata “dengkul” tersebut. Dan referensi yang sama menyebutkan ada dua belas ayat yang mencantumkan “lutut”, dan 55 ayat mencantumkan kata dasar tersebut beserta turunannya. Ayat tersebut terdistribusi di Perjanjian Lama (44 ayat) dan Perjanjian Baru (11 ayat). Semuanya berkonotasi pada penghormatan, penundukan, takluk, penyerahan diri, berserah, dan hal-hal sejenisnya.

Dan semua prinsip tersebut terakomodasi dalam salah satu kegiatan rohani orang beriman, yaitu berdoa. Seakan menunjukkan “kuasanya”, kata “doa” ini muncul 82 kali dalam 78 ayat, dan terdistribusi dalam 158 kali kemunculan dalam Perjanjian Lama dan 149 kali dalam Perjanjian Baru termasuk turunannya.

Lalu, apa hubungan doa dengan modal dengkul?

Ya, berdoa cukup dengan modal dengkul – tidak harus ke Yerusalem atau tempat-tempat yang dianggap suci dengan harta berlimpah – dan dilakukan dengan sikap berlutut. Berlutut, bisa diartikan secara fisik, maupun secara sikap mental. Modal dengkul, cuman perlu lutut, kata sedikit orang bernada guyon. Ada benarnya, utamanya kalau memahaminya dengan benar. Dan, ditambah dengan yang utama, yakni dilakukan dengan iman. Dan kehendak-Nya – mengabulkan, menunda, atau menolak permohonan melalui doa – itulah yang terbaik bagi setiap orang.

Kita harus berdoa dengan sikap hati bahwa apapun kehendak-Nya itu adalah skenario paling baik. “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan” (Yakobus 1:6-7).

Jelaslah, ya! Masih belum mau berdoa juga?

Feature photo:

https://www.dedydahlan.com/blog/7-profesi-modal-dengkul-literally/

Sumber:

https://alkitab.sabda.org/search.php?search=lutut&scope=def&exact=off

https://alkitab.sabda.org/search.php?search=dengkul&scope=def&exact=off

https://www.gotquestions.org/Indonesia/hambatan-doa.html

 

Tulisan ini dimuat di Seword dengan judul dan hari/tanggal yang sama

Aku Harus Kembali? Terima Kasih, pak Pendeta!

Screen Shot 2019-12-16 at 13.41.54Jujur saja, aku malu. 

Setelah menyatakan akan kembali menulis (walau tidak serajin dulu, terlebih di awal-awal adanya blog ini …) pada April yang lalu, terbukti aku tidak menepati janji. Maccam mana tidak malu, yaaa? Walau benar-benar memang disibukkan dengan berbagai kegiatan yang sangat menyita waktu, tapi aku percaya jika alasan kesibukan masih tidak mudah diterima oleh khalayak pembaca. Klise, katanya …

Begitulah.

Perkembangan media sosial dengan berbagai formatnya belakangan ini memang makin membuat blog ini tidak begitu diminati lagi, Kalah populer dibanding, katakanlah facebook, twitter, instagram, dan kawan-kawannya yang sangat banyak. Dengan berbagai kelebihan dan kemudahan, memang menjadikan blog semakin kalah pamor dan kalah peminat.

Demikianlah …

Hingga kemarin Minggu (tepatnya Minggu Advent Ketiga) setelah melayankan ibadah Minggu sebagai liturgis di HKBP Immanuel Kelapa Gading, Jakarta Utara aku makan siang bareng dengan tiga orang pendeta HKBP Palmerah Petamburan, Jakarta Pusat di restoran Shabu Hatchi di Jl. Gatot Subroto. Dipertemukan dengan suatu urusan (di antaranya karena aku harus mengantarkan bingkisan Natal untuk anak-anak Sekolah Minggu, tradisi tahunan yang memang sejak lama aku lakukan dengan cara meminta dan mengumpulkan dari beberapa “sponsor” …) dari Kelapa Gading (dengan “terpaksa” tidak ikut menghitung durung-durung sebagaimana yang aku lakukan setiap Minggu jika beribadah di sana) aku langsung ‘ngacir ke Palmerah.

Bertemu dengan pendeta dan menyerahkan bingkisan tersebut kepada yang berkepentingan. Setelah berbicara “hahahihi” kami pun beranjak makan siang ke tempat yang sudah ditentukan oleh penraktir tersebut, yang tak lain tak bukan adalah para inang pendeta. Sambil menunggu giliran kami dipersilakan masuk ke ruangan (memang banyak kali yang antri di restoran mahal di kawasan Museum Mandala TNI itu …) dan juga saat menyantap makanan, tentunya kami bercerita. Tak jauh dari kehidupan pelayanan jemaatlah, ya …

Ada yang mengejutkan: tentang sudah dikeluarkannya hukum siasat gereja alias hona ruhut-ruhut parmahanion/paminsangan ni huria kepada salah seorang mantan pucuk pimpinan HKBP, gereja yang kami kasihi tempat kami melayani dan dibesarkan. Tak tanggung-tanggung, akibat terlibat perselingkuhan! Siapa yang menyangka, tokoh yang nyaris menjadi orang nomor satu di sinode ini ternyata gagal mempertahankan kredibilitasnya sebagai hamba Tuhan? Beberapa bulan yang lalu beliau masih memberikan pembekalan tentang sikap dan karakter pelayan jemaat kepada penatua dan pendeta di tempat kami, yang untungnya (?) aku memilih ikut pada kegiatan lain daripada harus duduk mendengarkannya berceloteh tentang haparhaladoon.

Walau sangat jarang (bahkan hampir tidak pernah) berinteraksi secara intens, tetap saja aku tidak pernah simpati dengan pendeta yang dulu membaptis putriku yang juga dulunya adalah guru Agama isteriku ketika masih bersekolah di Tarutung ini. Sikap dan ucapannya kurang sesuai dengan jabatan tahbisan yang disandangnya, menurutku. Jadi, ketika mendengar beliau tersandung kasus seksualitas, aku tidak begitu terkejut dan tidak begitu bersimpati juga. Ma’afkanlah, ya …

Yang membuatku lebih terkejut adalah ucapan salah seorang pendeta fungsional (bermarga Siregar yang lagi mengikuti studi lanjutannya di salah satu STT di luar Jakarta) tentang blog-ku ini. “Kenapa tidak pernah lagi menulis di blog amangboru? Saya dulu rajin membaca dan mengikuti tulisan amangboru …”. Lalu ditimpali lagi sama pendeta resort (bermarga Silitonga yang adalah lae-ku: “Iya, saya juga suka membaca tulisan lae itu. Kenapa tidak menulis lagi sekarang?”

Dengan jawaban sekenanya aku merespon kemarin itu. Dan hari ini adalah responku untuk komitmen yang aku sampaikan dalam hati di kemarin itu. Selalu dimulai dengan nol, lalu satu untuk selanjutnya hadir dalam rentang waktu …

Do’akanlah aku supaya melalui blog ini kita jadi sering bertemu.

By tanobato Dikirimkan di HKBP