Minggu Ceria, koq ‘Nggak Menarik Perhatian Orangtua?

Minggu Ceria 07 April 2013

Dalam satu sermon Guru Sekolah Minggu – aku hadir karena akan maragenda pada Minggu berikutnya di kebaktian Sekolah Minggu – yang dipimpin oleh pendeta resort aku terkejut ketika menerima masukan dari guru-guru Sekolah Minggu tentang betapa minimnya kegiatan Minggu Ceria yang akan dilaksanakan pada Minggu, 07 April 2013 lalu. Minggu Ceria adalah kegiatan bulanan Sekolah Minggu yang dilaksanakan setiap Minggu akhir bulan dengan menambahkan kegiatan permainan setelah usai acara ibadah Minggu. “Biasanya ada pembagian hadiah perlombaan, bang. Juga perayaan ulang tahun bagi anak-anak yang berulang tahun selama bulan yang lalu. Tapi, kami ‘nggak punya dana untuk melaksanakan itu selama beberapa bulan ini karena ‘nggak ada lagi di anggaran, dan ‘nggak ada lagi orangtua yang mau menyumbang …”, kata salah seorang guru Sekolah Minggu menimpali “laporan” teman Sekolah Minggu lainnya.

Sebagai pendamping Sekolah Minggu yang ditunjuk oleh jemaat, tentu saja aku sangat prihatin tentang hal ini. Masa’ jemaat seperti kami ini ‘nggak sanggup melakukan acara yang lebih menyenangkan bagi anak-anak Sekolah Minggu yang notabene adalah masa depan Gereja? Setelah “tang-ting-tong” dengan pak pendeta, guru-guru Sekolah Minggu, maka aku pun sampaikan: “Untuk Minggu ini sebagai perayaan ulang tahun bulan Maret maka aku akan menyediakan dua puluh hadiah untuk perlombaan, dan kue ulang tahun untuk dinikmati oleh anak-anak. Untuk bulan-bulan selanjutnya silakan diatur sebagaimana pak pendeta barusan sampaikan bahwa beliau bersedia membantu untuk meminta kesediaan orangtua menyediakan kue ulang tahun yang anaknya berulang tahun pada bulan tersebut. Bulan mendatang, pak pendeta yang akan menyediakan kue ulang tahun karena anak pak pendeta berulangtahun pada bulan April ini.”.

Minggu, 07 April 2013 aku bertugas rangkap sebagai liturgis dan pengkhotbah karena amang pandita dan inang pandita sudah punya acara yang lain sehingga ‘nggak bisa berkhotbah untuk ibadah Sekolah Minggu tersebut. Bagiku ‘nggak terlalu masalah (lagian, aku sudah berjanji untuk bersedia berkhotbah di jemaat setiap minggu sebagai komitmen setelah kepulangan dari Yerusalem, ‘kan?). Lalu, jadilah demikian. Pagi itu, barulah diketahui oleh guru-guru Sekolah Minggu bahwa anakku si Auli turut sebagai salah seorang anak Sekolah Minggu yang berulangtahun bulan Maret ini. Sekali lagi hal ini menunjukkan kurang “profesional”-nya guru-guru Sekolah Minggu sampai-sampai ‘nggak punya daftar yang jelas dan lengkap tentang ulang tahun anak-anak Sekolah Minggu walau kegiatan Minggu Ceria ini sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sebagai pendamping Seksi Sekolah Minggu, tentu saja aku pun harus bertanggung jawab dalam hal ini. Dan sudah aku jadikan catatan sebagai salah satu hal yang aku harus perbaiki untuk hari-hari selanjutnya untuk mewujudkan Sekolah Minggu yang bisa menjadi model pelayanan di jemaat kami ini. Semoga Tuhan memberkati dan pasti membantu kami dalam mewujudkan impian ini.

Dari Konsistori-4: Pak Pendeta, Mana Buku Program Kerja Pelayanan Jemaat Tahun 2013?

Setelah berhasil menyelesaikan Rapat Jemaat – yang sempat tertunda karena ‘nggak mencapai quorum peserta, yang menurutku sebenarnya hal tersebut juga tidak pas benar – sampai hari ini hasil kesimpulan rapat tersebut belum disosialisasikan kepada jemaat. Bahkan pengurus alias pelayan dari masing-masing seksi dan dewan juga tidak pernah menerimanya. Bahkan notulen rapat jemaat tersebut sekalipun!

Biasanya, sejak aku berjemaat di gereja ini di awal tahun (tepatnya bulan Januari) kami sudah menerima satu buku yang memuat program pelayanan dari setiap seksi, dewan, dan jemaat untuk satu tahun ke depan. Di dalamnya juga tercantum anggaran penerimaan dan belanja jemaat, dan berapa alokasi dana untuk masing-masing kegiatan yang sudah disepakati saat rapat jemaat. Ada juga notulen rapat jemaat, dan masukan dari masing-masing wilayah pelayanan (yang biasanya dicantumkan apa adanya sebagaimana dokumen yang diberikan oleh masing-masing pengurus wejk ke parhalado).

Hal ini kembali seakan-akan mempertegas bahwa tahun 2013 ini adalah “tahun istimewa” bagi jemaat kami, sebab setelah ada rapat jemaat yang perlu diulang-kembali (konon baru terjadi pertama kali dalam sejarah perjalanan jemaat kami yang sudah 25 tahun …), kali ini buku program kerja pula yang ‘nggak ada. Lantas apa yang bisa dijadikan dasar alias landasan bagi seksi-seksi dan dewan dalam melakukan pelayanan tahun ini kalau buku tersebut ‘nggak ada?

Jum’at lima minggu yang lalu saat sermon parhalado aku sudah sampaikan ke pendeta untuk dijadikan perhatian agar segera dirampungkan pencetakan buku tersebut dan segera kami distribusikan ke setiap wejk dan seksi pelayananan jemaat. Saat itu dijawab pak pendeta bahwa buku dimaksud belum diterbitkan karena belum menerima jadual yang pasti dari masing-masing seksi tentang rencana jadual pelaksanaan kegiatan masing-masing. Sebenarnya, saat memberikan usulan kegiatan pelayananan sebelum Rapat Jemaat, masing-masing seksi sudah mencantumkan rencana pelaksanaan, namun baru sekadar bulan pelaksanaan (bukan tanggal pelaksanaan). Dan aku timpali apakah suatu keharusan mencantumkan sampai sedetil itu, yakni tanggal pelaksanaan, karena menurutku bukanlah itu esensi program pelayanan jemaat. Dengan mencantumkan bulan pelaksanaannya saja, sudah cukuplah. Buktinya, ‘nggak satupun seksi yang memberi tanggapan atas permintaan pimpinan jemaat yang disampaikan via tingting selama berminggu-minggu (karena mereka juga mungkin berpikir hal yang sama: untuk apa harus sampai mencantumkan tanggal segala, ya?). Nah, waktu sermon itu aku sampaikan ke forum: “Memang lebih bagus kalau ada tanggal pelaksanaan kegiatan. Tapi ini ‘kan masih rencana, yang berarti tanggal pelaksanaannya bisa saja bergeser sesuai dengan situasi dan kondisi. Jadi, artinya bukan suatu kemutlakan. Dengan mencantumkan jadual bulan saja sudah cukuplah untuk saat ini, karena buku tersebut adalah dokumen yang bisa dijadikan dasar dalam melakukan kegiatan pelayanan di gereja ini. Sekarang sudah bulan lima, sampai kapan lagi kita harus menunggu sampai buku tersebut ada dan dibagikan kepada masing-masing?”.

Saat sermon parhalado Jum’at, 24 Mei 2013 yang lalu kembali aku “mengingatkan” tentang sudah mendesaknya buku tersebut selesai dicetak. Sambil aku ingatkan bahwa evaluasi pelayanan semester satu sudah harus dipersiapkan. Perlu diwartakan melalui tingting huria Minggu ini agar masing-masing seksi punya waktu yang cukup dalam membuat laporan dan evaluasi pelayanan yang sudah dilakukan dalam satu semester tahun 2013 ini.

‘Nggak tahu juga apa yang melatarbelakangi penundaan pembuatan buku program kerja pelayanan tahun 2013 ini. Menurutku, kurang pas juga kalau hal “sepele” seperti ini harus diadukan ke Eforus di Tarutung. Namun, mau ‘gimana lagi?

‘Ngumpul Lagi …

Di wilayah Jabodetabek ada beberapa keluarga besar kami sa-ompung, yakni keturunan ompung kami, Lamsana Lumban Tobing. ‘Nggak banyak juga, namun ‘nggak bisa pula dibilang sedikit. Kalau dikumpulkan, pastilah ramai sekali. Beberapa tahun yang lalu (di awal-awal kami datang ke Jakarta dan tinggal di Jakarta) masih sering dilakukan pertemuan, bisa sekali dua bulan (tergantung apakah ada yang bersedia manjabui, yang biasanya dicocok-cocokkan dengan perayaan tertentu, yang sering terjadi adalah perayaan ulang tahun anggota keluarga. Frekuensinya menjadi menurun sejalan dengan perkembangan situasi “politik”, dalam artian hubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Bahkan, antara satu keluarga dengan beberapa keluarga sekaligus. Menyedihkan memang, apalagi bila mengingat bahwa di antara keluarga besar tersebut ada yang menjadi pelayan tahbisan di jemaat masing-masing (termasuk aku ini …).

Pertemuan keluarga yang terakhir sekali dilakukan bulan Oktober tahun 2012 yang lalu, itupun karena sekaligus acara manise alias manghata-hatai setelah pengebumian mertuaku yang laki-laki. Acaranya di rumah kontrakan kami di Bandung. Pertemuan sebelumnya juga di rumah kontrakan kami yang disediakan oleh kantor/perusahaan, yakni pada awal tahun sehingga merupakan parpunguan bona taon. Bukan suatu kebetulan – ‘nggak ada yang kebetulan di dunia ini, ‘kan? – kalau acaranya selalu di tempat kami, karena biasanya setelah aku “rame-ramein” baru ada yang “ingat” untuk bersilaturrahim. Begitulah, memprihatinkan memang situasinya.

Setelah pindah tugas kembali ke Kantor Pusat di Jakarta dan kami tinggal di rumah kontrakan di Bekasi, maka aku kembali berinisiatif (seperti biasanya …) untuk mengadakan pertemuan keluarga ini. “Thema”-nya adalah karena sudah lama ‘nggak ada pertemuan, dirangkai dengan “perkenalan” kami yang baru pindah ke Bekasi (dengan alamat rumah kontrakan baru …), perayaan ulang tahun Auli, dan syukuran baru kembali dari perjalanan rohani Timur Tengah (walau kenyataannya ada tiga keluarga kami yang berangkat dan pulang bulan Maret yang lalu dalam satu rombongan).

Begitulah, akhirnya pertemuan keluarga tersebut pun berlangsung juga pada Sabtu, 30 Maret 2013 yang lalu. Meski ada beberapa keluarga yang ‘nggak datang, namun ada juga beberapa keluarga yang selama bertahun-tahun ‘nggak pernah muncul yang hadir (sehingga terkesan sebagai “anggota baru” …). Yang dari Bandung dan Cimahi juga turut hadir. Dan aku bersyukur untuk hal itu. Seperti biasa, acara dibuka dengan do’a dan makan bersama, lalu ramah tamah. Pembicaraan didominasi oleh kesan-kesan pengalaman selama di Mesir, Israel, Palestina, dan Dubai. Ada suguhan oleh-oleh dari Yerusalem yakni anggur Kana, kurma Yerikho, dan buah ara Palestina yang memang sengaja aku sisihkan dari sedikit oleh-oleh yang aku bawa.

Lalu ada perayaan ulang tahun, yang ternyata selain Auli ada juga yang lain yang bertepatan pada akhir bulan Maret tersebut yang berulang tahun yakni kakakku yang tinggal di Jakarta yang aku berikan hadiah salib yang aku bawa dari Timur Tengah.

'Ngumpul Lagi (290513)

Yang membuatku lebih bersukacita adalah kesediaan salah satu anggota keluarga – satu di antara yang lama “nyaris tak terdengar kabarnya” – menyatakan kesediaannya untuk manjabui pada pertemuan berikutnya, yakni bulan Mei karena berdekatan dengan hari ulang tahunnya. Puji Tuhan!

Andaliman-232 Khotbah 02 Juni 2013 Minggu-I setelah Trinitatis

Bermegahlah di Dalam Tuhan. Awas Godaan Sombong Rohani!

Evangelium Yeremia 9:23-26 (bahasa Batak: Yeremia 9:22-25)

Mengenal Allah adalah kebahagiaan manusia

9:23 Beginilah firman TUHAN: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya,

9:24 tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN  yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

9:25 “Lihat, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku menghukum orang-orang yang telah bersunat kulit khatannya: 

9:26 orang Mesir, orang Yehuda, orang Edom, bani Amon, orang Moab dan semua orang yang berpotong tepi rambutnya berkeliling, orang-orang yang diam di padang gurun, sebab segala bangsa tidak bersunat dan segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya.”

Epistel 2 Korintus 10: 12-18

10:12 Memang kami tidak berani menggolongkan diri kepada atau membandingkan diri dengan orang-orang tertentu yang memujikan diri sendiri. Mereka mengukur dirinya dengan ukuran mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan diri mereka sendiri. Alangkah bodohnya mereka!

10:13 Sebaliknya kami tidak mau bermegah melampaui batas, melainkan tetap di dalam batas-batas daerah kerja yang dipatok Allah bagi kami,  yang meluas sampai kepada kamu juga.

10:14 Sebab dalam memberitakan Injil Kristus kami telah sampai kepada kamu, sehingga kami tidak melewati batas daerah kerja kami, seolah-olah kami belum sampai kepada kamu.

10:15 Kami tidak bermegah atas pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain di daerah kerja yang tidak dipatok untuk kami. Tetapi kami berharap, bahwa apabila imanmu makin bertumbuh, kami akan mendapat penghormatan lebih besar lagi di antara kamu, jika dibandingkan dengan daerah kerja yang dipatok untuk kami.

10:16 Ya, kami hidup, supaya kami dapat memberitakan Injil di daerah-daerah yang lebih jauh dari pada daerah kamu dan tidak bermegah atas hasil-hasil yang dicapai orang lain di daerah kerja yang dipatok untuk mereka.

10:17 “Tetapi barangsiapa bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.”

10:18 Sebab bukan orang yang memuji diri yang tahan uji, melainkan orang yang dipuji Tuhan.

Keindahan Almanak HKBP terlihat lagi melalui kesinambungan antara nas-nas perikop Minggu-Minggu sebelumnya dengan Minggu ini. Dan sangat berhubungan antara Ev dan Ep, walau masing-masing berasal dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kali ini tentang “bermegah” (lagi) setelah Minggu lalu kita sudah disapa oleh firman Tuhan tentang memegahkan diri ini.

Ev Minggu ini memesankan agar jangan ada seorang pun bermegah dengan apa yang dimilikinya yang biasanya mudah mendapatkan pujian oleh dunia. Kebijaksanaan, kekuatan, dan kekayaan adalah hal-hal yang seringkali dipuja oleh manusia dari masa ke masa, sampai zaman sekarang yang bahkan kecenderungannya semakin memuja hedonisme. Orang Batak – sebagaimana syairnya diciptakan dan disenandungkan oleh Nahum Situmorang – mengenal tiga hal yang membanggakan yang dikejar selama hidup di dunia, yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Oh ya, kemarin sore sampai menjelang malam aku menyampaikan khotbah di kategorial lanjut usia yang salah satu slide yang aku tampilkan adalah tentang ketiga hal tersebut yang hampir semua orang-orang tua berusia lanjut yang hadir pada pertemuan tersebut mengangguk-anggukkan kepala manakala aku sampaikan bahwa semua orang yang hadir saat itu (sambil menyebutkan beberapa nama yang aku kenal di antara mereka …) sudah mencapai tiga hal yang paling didambakan oleh orang Batak tersebut. Khotbah tadi malam diangkat dari perikop yang mengisahkan kematian Yusuf dengan pesan yang aku angkat adalah perlunya persiapan yang semakin matang di dalam Tuhan agar kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi orang beriman dan sebagai siapa akan dikenang oleh orang-orang yang ditinggalkan.

Yeremia dalam nas perikop ini mengingatkan supaya, kalaupun sudah sangat pengen bermegah, bermegahlah “… karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Aku-lah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Ku-sukai …”. Dalam berbagai kesempatan pun, aku seringkali mengingatkan – diriku sendiri dan orang-orang di sekitarku sesama pelayan jemaat – bahwa godaan memegahkan diri sendiri acapkali datang, bahkan saat melakukan pelayanan jemaat. Misalnya saat menjadi pemimpin ibadah di mana semua yang hadir memusatkan perhatiannya kepada sang liturgis (kecuali yang acuh tak acuh, itu pun sangat sedikit jumlahnya ya …), kesempatan untuk menunjukkan “siapakah aku ini” sangat lebar terbuka. Dan iblis yang selalu mengintai, seringkali ‘nggak membutuhkan waktu yang lama untuk menerkam sasarannya …

Oh ya, ada hal yang sedikit mengganggu pada nas Ev Minggu ini, yaitu ayat 25 yang seakan-akan tiba-tiba “’nyelonong” di teks yang sedang tidak membicarakan sunat. Menurutku, apa yang ingin disampaikan oleh Yeremia adalah sebagai suatu hal yang sangat ‘nyambung dengan apa yang disampaikan dan diajarkan kemudian oleh Rasul Paulus, yaitu tentang lebih pentingnya “menyunat hati” daripada “sekadar” sunat kulit khatan. Dan Yeremia ingin mengingatkan bahwa sunat kulit khatan bukan jaminan untuk tidak menerima hukuman Allah atas kelakuan yang tidak berkenan bagi-Nya.

Demikian juga Paulus dalam nas Ep Minggu ini yang enggan untuk menyombongkan diri dengan pelayanannya yang sebenarnya sangat luar biasa dengan tidak mau membanding-bandingkan dirinya dan pelayanannya dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Suasana psikologis jemaat saat itu adalah tentang persembahan yang dikumpulkan jemaat yang miskin untuk pelayanan jemaat, sedangkan jemaat Korintus yang jauh lebih kaya pada faktanya masih sulit memberikan persembahannya kepada jemaat lain yang lebih membutuhkan.

Pesan Paulus pada perikop ini:

(1)   Adalah suatu kebodohan jika memuji diri sendiri dan mengukurkan pelayanan dengan ukuran yang dibuat sendiri (tentu saja menjadi subyektif karena kecenderungannya yang akan terjadi adalah “mau menang sendiri”)

(2)   Ada batas-batas wilayah dalam melayani jemaat, dan jangan melampaui batas tersebut. Artinya, jika ditugaskan melayani jemaat di tingkat wejk, berfokuslah pada pelayanan di wejk dimaksud, jangan mengambil “kavling” orang lain di luar itu, misalnya di wejk lain. Aneh, ya? Semula aku juga terkejut karena zaman sekarang hampir tidak ada lagi batasan geografis, sampai kemudian aku pun tersadar bahwa mungkin yang dimaksud adalah kalaupun harus keluar dari batas wilayah pelayanan, jangan jadikan itu sebagai suatu kesombongan, misalnya dengan mengatakan: “Lihatlah, aku harus melayani wejk tetangga karena aku sangat dibutuhkan dan lebih baik daripada para pelayan di sana yang ‘nggak becus dan ‘nggak memadai dalam melakukan pelayanan …”. Jangan begitu, ya!            

(3)   Tidak bermegah atas pelayanan orang lain. Biarlah orang lain yang menerima upah dari pelayanan yang dilakukannya. Apa pula hak orang lain, ya?

Lantas, bermegah yang bagaimana yang dibolehkan? Ayat 17 dengan lugas mengatakan, lakukanlah itu di dalam Tuhan. Jangan suka memuji diri sendiri, karena itu menunjukkan tidak tahan uji, melainkan pujian harus datangnya dari Tuhan.  

Tantangan/Bekal Bagi (Warga) Jemaat/Referensi

Bukan hanya parhalado, pada masa kini pelayanan jemaat bisa dilakukan oleh semua kalangan, bahkan oleh “warga jemaat biasa”. Sesuai dengan talenta dan situasi kondisi yang ada di jemaat itu, tentunya. Artinya, pesan yang ingin disampaikan oleh nas perikop Minggu ini adalah berlaku bagi semua kalangan. Artinya (lagi), lakukanlah pelayanan dengan tidak berharap pujian dari orang lain, melainkan dari Allah semata. Tidak baik pula memuji diri sendiri, mengklaim apa yang sudah dilakukan oleh orang lain, apalagi “menyerobot” pelayanan orang lain.

Kembalikanlah pelayanan jemaat kepada Dia, Sang Empunya Jemaat … Semua hal-hal tersebut – menjauhkan diri dari godaan kesombongan rohani, dan sebaliknya menjadikan Tuhan sebagai fokus dalam pelayanan dan hidup ini – dapat kita laksanakan dengan mengikuti pengarahan dari Roh Kudus yang ada di dalam diri kita (sekali lagi: yang sudah ada di dalam diri kita!) yang pasti akan selalu menuntun kita bilamana selalu memberikan keleluasaan bagi-Nya dalam melakukan peran keilahian dalam hidup kita.

Selamat bermegah di dalam Tuhan! Dan jadilah pelayan yang tahan uji!

Hujan, Partangiangan Punguan Ama Tertunda Sampai Menjelang Tengah Malam …

Slide2

Slide3

Slide4

Slide5

Slide6

Sebenarnya bukanlah jadualku marhobas di partangiangan Punguan Ama pada Jum’at, 17 Mei 2013 yang lalu, namun ketika sintua senior yang seharusnya berkhotbah pada hari itu memintaku menggantikannya (dengan alasan kurang pe-de …), maka aku pun menyanggupinya. Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri ketika di Yerusalem (dan karena sangat mensyukuri berkat Tuhan bagiku dan memuji-muji nama-Nya selalu) bahwa aku harus selalu siap berkhotbah mankala ada yang meminta? Paling tidak, setiap minggu aku harus siap, dan sikap seperti ini masih dibutuhkan pada situasi pelayanan di jemaat kami sekarang ini ketika sintua “diperbolehkan” berkhotbah di setiap partangiangan wejk sementara masih banyak yang belum siap dengan tugas pelayanan yang bagiku sebenarnya adalah suatu kehormatan (bukan semata-mata kewajiban …).

Maka jadilah aku pengkhotbah untuk malam itu. Sore harinya ada permintaan mak Auli via pesan-pendek untuk menjemput mereka di gerbang tol keluar Cakung agar bersama-sama ke gereja karena hari itu Auli akan mengikuti latihan paduan suara anak-anak Sekolah Minggu sebagai bagian persiapan mengikuti festival di Distrik Jakarta (karena aku paniroi Singkola Minggu, maka aku pulalah yang berinisiatif dan mendorong anak-anak Sekolah Minggu untuk ikut festival ini, bukan hanya satu, bahkan tiga festival sekaligus kalau memang sanggup!).  Walau kemudian ada pemberitahuan lanjutan bahwa mereka ‘nggak jadi ikut bersamaku karena menumpang sama tetangga kami yang juga ikut paduan suara di gereja.

Malam itu aku rada cepatan sampai di gereja. Belum jam setengah delapan sebagai jadual sermon parhalado. Bagus juga, karena itu aku berarti masih punya waktu banyak untuk mempersiapkan peralatanku berkhotbah karena (seperti biasanya) aku siapkan penyampaian khotbah dengan presentasi dan video clipt yang menggunakan LCD projector milik gereja. Setelah terpasang di ruangan Sekolah Minggu sebagai tempat partangiangan punguan ama dan baru ada satu orang yang datang, itupun duduk di bangku panjang di luar ruangan yang jauh, aku baru tersadar: harus ada yang menjagai peralatan ini. Mengingat bahwa LCD-projector yang pertama dulu hilang di rumah pak pendeta, maka aku minta mak Auli berkorban untuk menjagainya dengan duduk di ruangan tersebut sementara aku berada di konsistori mengikuti sermon parhalado yang waktunya memang bersamaan.

Dijadualkan mulai jam delapan, namun sampai jam sembilan kurang, belum ada seorang pun yang berada di ruangan Sekolah Minggu tersebut. Tadi aku sudah pesankan ke mak Auli untuk meng-SMS aku kalau kaum bapak tersebut sudah siap untuk memulai acaranya, namun belum ada juga. Di sermon aku bertanya ke pak pendeta ‘gimana kalau memang kaum bapak ‘nggak ada yang datang (malam itu memang turun hujan sangat derasnya …) yang dijawab: “Berapapun yang datang dimulai sajalah, walaupun sekadar berdoa, lalu ditutup. Atau, coba lihat dulu di kantin, biasanya mereka suka duduk-duduk di sana …”. Dan benar saja, ketika aku keluar aku melihat ada dua orang duduk di kursi panjang di sebelah pintu masuk samping gereja yang keduanya adalah temanku semasa SMA dulu di Medan. Dan ada lagi beberapa orang di kantin. Semuanya aku datangi dan mengajak mereka untuk masuk ke ruang Sekolah Minggu untuk memulai ibadah …

Dan inilah slide khotbah yang aku sampaikan malam itu yang menurutku sangat pas dengan situasi parkoor-amaan di jemaat kami. Mungkin karena lelah dan bosan menunggu tadinya (dimulai menjelang jam sembilan malam), aku melihat wajah-wajah yang lelah. Untungnya aku sudah siapkan satu video clipt yang memang bisa menggugah mereka dan yang memang bisa menjadi sangat ‘nyambung. Dan seperti yang di atas itulah rangkaian slides yang aku buat dan tampilkan …