Bukan Karena Saya Sudah Mau Mati

Tadi pagi lagi asyik mengakses salah satu platform menulis langgananku mendadak ada telpon dari kantor gereja memintaku untuk ke RS Pelni di Petamburan. “Permintaan pasien supaya amang yang mendoakan ke rumah sakit”, demikian suara pendeta di ujung sana mengabarkan. Aku lihat jadwal pekerjaan hari ini, masih kosong sampai sore, artinya aku bisa pamit beberapa jenak untuk pelayanan sakramen kepada umat yang sedang membutuhkan tersebut. Setelah minta izin atasan, tentunya.

Oh ya, Minggu lalu aku masih berkomunikasi dengan pasien yang adalah warga jemaat lingkungan kami dengan menyampaikan selamat ulang tahun ke 76, dan beliau minta didoakan karena sedang sakit. Itu sebabnya aku bergegas. Namanya panggilan pelayanan umat, ‘kan? Dan sedang sakit pula …

Ketika di rumah sakit, sebelum dilayankan sakramen diberi kesempatan untuk keluarga dan pasien menyampaikan sesuatu ucapan. Yang aku suka adalah ketika pasien uzur tersebut mengatakan dengan mantap, “Walau banyak orang mengatakan bahwa sakramen ini untuk orang yang sudah mau meninggal, tapi saya mengimani bukan itu. Saya masih mau sembuh. Doakan saya, karena saya masih percaya kekuatan doa, apalagi yang disampaikan oleh hamba Tuhan.”.

Betul, sakramen itu dijalankan “hanya sekadar” sebagai pengingat akan Yesus yang sudah menebus manusia dari dosa (Lukas 22:19). Dan Agenda juga dengan lantang diucapkan: “Sebagai hamba Tuhan, percayalah bahwa dosamu sudah diampuni!”.

Seketika aku melihat kanker pankreas stadium lanjut yang diderita beliau menjadi stadium “bukan apa-apa”. Malah aku jadi diingatkan dengan perkataan: “imanmu yang menyembuhkan dan menyelamatkan” (Markus 5:24). 

Perjalanan kembali ke kantor dengan beberapa pekerjaan yang tadi harus ‘kutinggalkan pun jadi ringan, karena malah aku yang jadi dikuatkan. 

Sunter, 16 Juni 2022

https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/hospital-bed-no-people

https://www.kompasiana.com/pardosagodang/62aaffc6edb24b7f597107c2/bukan-karena-aku-sudah-mau-mati

National Small Convention …

Bekerja di perusahaan kecil seperti yang aku pimpin sekarang ini tentu saja sangat berbeda dengan ketika masih menjadi profesional di perusahaan (sangat) besar di Nestle  – tempat yang aku habiskan lebih dari separuh usiaku – setelah lebih dua puluh tahun mengabdi dengan penuh suka-duka dan banyak pengalaman yang dapat dipetik dari sana. Salah satu di antaranya adalah menyelenggarakan pertemuan tahunan yang dihadiri oleh semua staf dari seluruh nusantara. Sesuai tradisi, di perusahaan ini dikenal dengan rakernas sebagai singkatan dari rapat kerja nasional. Karena terkesan lebih “formal”, maka mulailah aku perkenalkan istilah national convention. Bukan karena sok kebarat-baratan – karena jelas sejelas-jelasnya bahwa aku sangat mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI ini dengan kebanggaan berbahasa Indonesia – tapi memang pesan yang aku mau sampaikan adalah berbeda.

Kesan yang aku mau tampilkan:

(1) Walau kecil (baca: belum besar) sebenarnya kami sudah go international. Produk-produk yang kami jual adalah made in Canada. Dan ada juga yang buatan Cina. Jadi, wajar dong kalau mulai pakai istilah asing …

(2) Walau namanya meeting yang terkesan sangat serius (bahkan sebagian besar mengesankan dan terkesankan “menyeramkan” karena sebelumnya seringkali penuh ketegangan dan “intimidasi” …) bagiku pertemuan yang sangat langka ini harus diubah kesannya. Inspiratif (menampilkan berbagai ide), memotivasi (memberikan penghargaan bagi orang-orang yang berprestasi), terbuka (bebas berbicara dan menyampaikan pendapat), dan juga fun! (malamnya ada acara nonton bareng ke XXI dengan berjalan kaki ke Kuningan City yang memang “sepelemparan batu” saja jaraknya dari kantor kami di lantai 22 Satrio Tower ini).

(3) Walau tahun lalu – menurut info – dilakukan di hotel di luar Jakarta (Puncak), tahun ini diselenggarakan di kantor saja, karena memang kantor baru kami yang megah ini sangat memadai untuk menyelenggarakan acara seperti ini. Efisien dan efektif, memang itu sasaran yang harus dikejar …

Tidak banyak hal yang kami bahas (karena aku menganggap bahwa pertemuan seperti ini tidak harus melupakan unsur silaturahim juga …), selain poin-poin penting yang harus dilaksanakan tahun 2018 ini. Temanya back to basic karena berdasar pengamatanku yang baru bergabung sejak September 2017 lalu, kompetensi dan mentalitas karyawan harus “dikembalikan ke titik paling mendasar” untuk kemudian segera diperbaiki untuk membuat semua orang produktif dan kompeten dengan ruang lingkup pekerjaan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.

This is national small convention since compared to my previous company that having hundreds participants …

Aku Datang Lagi …

20160907_155810

Rindu … Itu adalah kata yang pas yang aku rasakan dalam beberapa hari ini. Mendadak aku sangat ingin meneruskan menuliskan sesuatu dalam blog yang telah lama “menganggur” ini. Kemarin sengaja mengambil cuti sehari – tepatnya menggantikan masuk kerja Sabtu dua minggu lalu karena harus mendampingi karyawan tenaga penjualan yang baru (ada tigabelas orang dari seluruh Indonesia) dalam mengikuti pelatihan Defensive Driving di kantor – dengan tujuan punya waktu untuk mulai menulis lagi selain untuk mendampingi ito dan lae tertua yang akan menjalani operasi syaraf di leher di RS Pusat Otak Nasional di Jakarta (yang ternyata kemudian tertunda karena konon peralatannya belum lengkap sampai kemarin dan rencananya akan dioperasi hari ini …), mengambil perlengkapan wisuda di STT Lintas Budaya (yang juga semula direncanakan kemarin namun mendadak ditunda ke hari ini …). Ternyata sampai Selasa kemarin berakhir, keinginan tersebut belum juga bisa terwujud.

Puji Tuhan! Hari ini dapat aku mulai dengan “postingan pembuka” ini. Dari Banjarmasin (tepatnya di Kantor Banjarmasin Area) setelah mendarat kurang dari sejam yang lalu. Kedatanganku ke Banjarmasin (yang pertama selama hidupku …) adalah untuk menjadi fasilitator Micro Sales Analysis workshop. Akan dimulai besok sampai Jum’at malam. Biasanya – seperti yang terjadi di Semarang, Solo, dan Surabaya pada minggu-minggu yang lalu – aku naik pesawat dengan penerbangan pertama. Itu artinya berangkat dari rumah jam empat pagi, hal yang menjadi perhatian boss-ku yang baik hati sehingga kemarin ketika mengurus penerbangan dan penginapan ke Banjarmasin beliau mendesak supaya aku tidak berangkat subuh lagi. 

“Enggak sayang biaya penginapannya, pak? Jadi harus tambah semalam lagi ..”, kataku

“Jangan terlalu mikir biaya, pak. Lebih penting pak Tobing menginap semalam dan datang lebih awal supaya saat mulai training-nya dalam keadaan yang lebih segar. Dengan demikian, workshop bisa lebih produktif.”.

Jawaban yang menyukacitakan. Itulah sebabnya aku sudah sampai di Banjarmasin sesiang ini. Tadinya, kawan-kawan di sini menganjutkan supaya dari bandara aku langsung ke Hotel Daffam Syariah untuk beristirahat dan besok saja datang ke kantor untuk memulai pelatihan. Hal yang serta-merta aku tolak dengan halus dengan mengatakan, “Aku ke kantor aja, pak. Besok itu waktu aku mendarat di Banjarmasin ‘kan masih jam kerja, tentunya aku harus bekerjalah …”.   

Sesampai di kantor ternyata semua kawan-kawan sedang melakukan workshop dan komitmen pencapaian target penjualan September ini. Di lantai dua. Karena aku ‘nggak mau mengganggu keseriusan mereka, maka aku mohon izin untuk bekerja di ruangan yang lain aja. Dan mereka menyediakan ruangan yang sehari-harinya dipakai oleh Area Sales Manager. “Ruangannya ber-AC, pak. Silakan aja di sana.“, tawaran mereka setelah melihatku siap-siap di ruang “bersahaja” (sesuai dengan kebiasaanku sedari dulu yang memang ‘nggak mau repot dan juga ‘nggak mau merepotkan …) di lantai yang sama. 

Jadilah aku bekerja di ruangan bawah yang sejuk ini. Bukan dingin, karena aku memang ‘nggak cocok di ruangan yang dingin. Dan jadilah tulisan singkat ini. Rencanaku, nanti malam aku akan menulis hal-hal menarik dan penting yang sempat “terlewatkan” dalam bulan-bulan absen selama ini. Mudah-mudahan jaringan internet di hotel lumayan bagus sehingga aku bisa mewujudkan kerinduan yang sudah lama terpendam.

Sampai berjumpa kembali denganku, kawan-kawan …

Selamat Tinggal Kamar Kos … Kembali Bertugas di Jakarta, Kembali ke Rumah!

Malam ini adalah malam terakhir aku ‘nginap di kamar kos yang sudah aku tinggali sejak Minggu, 15 Maret 2015. Yakni sejak aku ditunjuk (kembali) menjadi Area Sales Manager Tangerang meliputi Tangerang Selatan, Jakarta Selatan (ring satu Head Office dan West Java Region tempat aku bernaung sehingga hampir setiap bulan direpotkan untuk persiapan menyambut tamu yang memang seringkali diarahkan ke wilayah kerjaku dengan alasan “dekat ke kantor sehingga para tamu tidak menghabiskan banyak waktu untuk market visit …”), dan Serang. Banyak kenangan – seperti yang disampaikan oleh koh Benny tetangga kamarku begitu tahu aku akan meninggalkan kehidupan kos di Anggrek Loka AC-58 Bumi Serpong Damai, Tangerang – salah satunya adalah kehilangan mobil Kijang Innova B-1854-SIO warna hitam yang baru beberapa bulan aku dapatkan sebagai kendaraan dinas yang disediakan oleh perusahaan pada 07 Juli 2015 beberapa hari menjelang Lebaran. Aku akan menceritakan tentang hal ini nanti …

Hidup ‘nge-kos menjadi keputusan kami sekeluarga – aku, Auli, dan mamaknya – harus diambil mengingat betapa jauhnya perjalanan dari rumah kontrakan kami di Harapan Indah, Bekasi ke kantor Distributor PT Sekawan Pangan Jaya di Pamulang, Tangerang Selatan tempat aku dan timku menumpang. Butuh lebih dua jam jika perjalanan normal, dan akan bertambah lama jika perjalanan lewat dari jam tujuh pagi karena bersaing dengan anak-anak sekolah dan orang kantoran. Juga biaya bensin dan tol yang harus aku bayar manakala melewati pintu tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road) dan BSD.

Semula aku merasa “geli” juga, koq tinggal di Jakarta (persisnya Bekasi), ‘ngantor di Jakarta (persisnya Tangerang) harus ‘nge-kos di BSD. Namun, manakala menyadari bahwa penghuni rumah kos ini juga ada beberapa orang yang keluarganya tinggal di Bekasi semunya menjadi normal terasa. Ada koh Benny yang bekerja di optik, ada Dave yang jadi DJ di salah satu diskotik (yang membuat mak Auli terperanjat ketika pertama kali kami datang di rumah kos ini melihat tattoo di sekujur tubuhnya ketika mempersilakan kami masuk untuk menemui mas Dirin selaku pengurus rumah kos ini sekaligus orang kepercayaan pasangan bu Lia dan pak Andryanto sang pemilik rumah kos), ada perempuan Jepang yang setiap pagi jam setengah delapan bersembahyang Shinto dengan mengeluarkan suara nyaring (sempat aku mengira semula adalah suara provider internet saking kerasnya dan dengan bahasa yang tak satupun penghuninya memahaminya …), ada juga Alberto yang tinggal persis di depan kamarku yang bernomor lima (laki-laki paruh baya Italia yang seringkali didatangi anak dan isterinya yang pekerjaannya menggunakan notebook di tengah malam), ada Kevin, ada Erwin (orang Medan yang bekerja di perusahaan lift Otis), juga beberapa laki-laki dan perempuan lain yang tidak begitu aku kenal.

Biasanya aku Jum’at tidak menginap di sini karena pulang ke rumah di Bekasi (setelah mengikuti sermon parhalado di HKBP Immanuel Kelapa Gading, Jakarta Utara), lalu kembali pada Minggu malam. Setelah Tangerang Area bersama North Jakarta Area dan South Jakarta Area ditahbiskan sebagai “Danger Zone Area”, maka aku jadi lebih sering kembali ke kosan pada Senin karena pagi harinya jam sepuluh harus mengikuti Sales Evaluation Day di West Java Region Office di Gedung Antam di Jl. T. B. Simatupangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ditambah lagi sejak Juli 2015 aku memutuskan ikut perkuliahan doktoral di Sekolah Tinggi Teologi Lintas Budaya di Kelapa Gading, maka menjadi bertambahlah hari-hariku tidak menginap di kosan karena seringkali pulang ke Bekasi usai perkuliahan yang selalunya selesai setelah tengah malam. Karena berangkat ke kantor pagi dan pulang setelah lewat jam delapan sehingga persisnya hanya “sekadar” menumpang tidur, aku ‘nggak begitu banyak mengenal penghuni rumah kos ini.

Oh ya, aku juga baru tahu minggu lalu ketika koh Benny memberi tahu bahwa ada juga penghuni yang adalah perempuan simpanan. “Ah … masak bang Tobing ‘nggak tahu? Itu perempuan yang tinggal di lantai tiga. Mobil itu hadiah dari laki-laki beristeri yang seringkali mendatanginya …”, katanya setengah berbisik waktu aku tanya siapa pemilik mobil Honda Freed putih yang baru kali itu aku lihat dan diparkirkan di lapangan rumput di sebelah samping kanan rumah kos. “Mobil itu juga jarang dipakai makanya diparkir di situ terus. Habisnya, dia sendiri ‘nggak bisa bawa mobil ..”, imbuhnya sambil tersenyum penuh arti. Mungkin dia juga heran mengetahui betapa aku tidak mengetahui tentang hal tersebut yang mungkin dianggap sudah jadi pengetahuan umum penghuni rumah kos ini. Bah!

Menurut surat pemberitahuan Sales Management yang dirilis awal Februari yang lalu aku ditugaskan kembali ke Head Office, ke Department tempatku bekerja tahun 2013 setelah pindah dari Bandung, lalu sebelum kembali ke Jakarta sebagai Area Sales Manager. Mutasi yang sampai sekarang pun menjadi “misteri” bagiku karena tidak pernah ada diskusi sebelumnya dengan atasanku langsung maupun atasan dari atasan langsungku. Ya sudahlah, toh hidup ini juga penuh misteri, ‘kan? Sama misteriusnya dengan rencana Tuhan di balik perpindahan ini yang aku amini dan imani pasti yang terbaik dan indah. Bukankah setiap perpindahan adalah “tanah terjanji yang baru”, yakni yang penuh susu dan madu?

Kembali Menjadi “Orang Aneh” …

Hari Pertama Pasca Lebaran (300714)

Sejak bulan Juli 2014 ini kami menempati lokasi kantor yang baru. Setelah beberapa tahun menempati rumah yang luas dan asri di Jalan Paso di daerah Jagakarsa di Pasar Minggu di Jakarta Selatan (lengkap banget, ya …), kami pun pindah ke perkantoran yang baru (dalam artian memang baru selesai dibangun, bahkan masih belum tuntas banget dengan masih terdengarnya para tukang menuntaskan beberapa pekerjaan lainnya …). Tepatnya di gedung PT. Aneka Tambang. Masih di kawasan Pasar Minggu. Dari ruanganku di lantai 7 dengan jelas terlihat bangunan kantor pusat kami di seberang sana …

Banyak kenyamanan yang aku dapatkan di tempat yang baru ini. Ruangan kerjaku sekarang terasa lega. Dulu aku bergabung dengan empat orang manajer, sekarang hanya berdua … Dulu masih harus bermacet ria di jalan Cilandak KKO, sekarang bisa langsung masuk ke lokasi perkantoran setelah keluar dari gerbang tol Pasar Minggu. Jadi lebih hemat, jauh lebih hemat dari segi waktu dan konsumsi bahan bakar. Untuk makan pun sekarang jauh lebih nyaman, karena tersedia kantin di lantai dasar yang menyediakan berbagai jenis makanan untuk kebutuhan karyawan yang berkantor di komplek perkantoran ini. Oh ya, dari ruanganku jelas terlihat kondisi lalu lintas di jalan tol apakah sedang macet atau lancar jaya …

Yang aku mau ceritakan adalah tentang “beban psikologis” bekerja pada hari Sabtu. Waktu masih di Kantor Pusat aku sangat menikmati libur setiap Sabtu. Hari itu aku dedikasikan benar-benar untuk keluarga (dan diriku sendiri, tentunya …). Oh ya, sesekali untuk pelayanan jemaat sesuai jadwal pelayananku. Tapi hampir setahun belakangan ini, semuanya itu jadi kerinduan dengan ketentuan bahwa staf penjualan lapangan seperti aku ini yang wajib bekerja enam hari dalam seminggu. Sesuatu yang tidak lazim bagi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya yang pada umumnya sudah menjadikan Sabtu sebagai hari libur. Bagi karyawan, pun bagi anak sekolah.

Jadilah aku setiap Sabtu jadi “orang aneh” … Di komplek perumahan, di mana semuanya sedang menikmati libur bersama keluarga, eh … aku “rajin banget” berangkat ke tempat pekerjaan. Demikian pula di komplek perkantoran sekarang ini, selalu dibutuhkan menjelaskan tujuan kantor yang dituju ke satpam yang menjaga pintu gerbang di depan komplek perkantoran karena selalu ditutup pada setiap Sabtu karena hanya kantor kami yang mewajibkan karyawannya bekerja pada Sabtu. Yang lainnya? Libur, sudah tentu … Selain PT Aneka Tambang sendiri selaku pemilik bangunan, ada juga Bank Mandiri, Bank Permata, dan beberapa perusahaan lain yang berkantor bersama kami di komplek ini.

Demikian jugalah yang terjadi pagi tadi. Aku membutuhkan lebih dua menit menunggu di depan pintu gerbang yang tertutup rapat sebelum kemudian benar-benar dibukakan oleh satpam yang sebelumnya hanya melihat kedatanganku. Seakan mereka baru tersadar setelah aku klakson, lalu salah seorang satpam mendatangiku untuk bertanya mau ke mana. Dengan jawaban yang sama yang selalu aku sampaikan setiap Sabtu, maka pintu gerbang pun dibuka … Pasti beliau bertanya-tanya di dalam hati, koq sudah ada orang yang bekerja pada hari ini …

Memang hanya ada empat orang kami yang masuk kantor hari ini, semuanya tentu saja yang tidak mengambil cuti Lebaran sehingga hanya berhak menikmati libur Lebaran yang dua hari, yakni Senin dan Selasa. Sepi, tentu saja. Oh ya, ada satpam kantor kami, operator, dan dua orang OB alias office boy (yang salah seorang dengan bangga menyajikan kacang dan kue buatan isterinya, yang tentu saja dengan ekspresi sukacita aku mengambil dan melahapnya …).

Menjelang makan siang, kawan seruanganku permisi pulang. “Masih ada beberapa keluarga yang belum sempat saya kunjungi kemarin, pak. Jadi sambil sekadar kerja hari ini, saya langsung mau ke rumah keluarga bersilaturahim …”, katanya sambil bergegas meninggalkan ruangan untuk pulang.

Jam makan siang, aku ke dapur dan ruang tamu untuk mencari OB untuk memesan makan siang. Yang seorang yang tadi membawa kue dan kacang sedang makan mi instan, yang seorang lagi ‘nggak kelihatan (ternyata sedang merebus mi instan buatnya …). Sekembali dari kamar mandi (di seberang ruangan karena sharing dengan perusahaan lain di lantai yang sama …) aku bertanya ke operator dan satpam, “Sudah makan siang kalian? Masa’ sudah Lebaran masih tetap puasa. Mending kalau puasa Syawal masih ada pahala, ini malah makan mi instan pula …”. Lalu hampir serempak menjawab, “Iya sudah, makan mi instan, pak …”.

Dheg! Aku tersentak kaget; koq sampai begitunya? Lantas secara spontan aku mengeluarkan lembaran seratus ribu yang masih ada di dompetku sambil berujar: “Begini saja, belikan aku makan siang dengan sayur daun singkong dan ikan sambal. Habiskan uang ini untuk membeli makan siang buatmu dan juga buat yang lainnya. Cukup, ‘kan?”

“Wah, cukup banget, pak … Cuma rumah makan Padang yang sudah buka. Saya beli ke sana aja”, sambar seorang OB dengan sigap lalu pergi.

Kami pun makan siang dengan gembira …

Tak lama, dua orang karyawan seperusahaanku (oh ya, OB dan satpam adalah karyawan outsourcing yang dipekerjakan di kantor ini …). Aku bertanya di mana mereka makan tadi, koq langsung ‘nggak kelihatan saat makan siang. Ternyata mereka makan di luar kantor dengan bersepeda motor. “Sekalian kami mau pamit pulang, pak …”, kata mereka berdua hampir serempak.

“Lho, ini ‘kan baru jam berapa … Koq sudah pada mau pulang?”

“Ini ‘kan hari pertama kerja setelah Lebaran, pak. Bolehlah pulang cepat. Mumpung masih siang, pak”

“Wah, koq begitu ya? Memang cuma kita yang bekerja hari ini, yang lain termasuk atasan kita ‘nggak masuk. Mereka ‘kan memang cuti. Harus disiplin, dong! Memang ada yang sakit?”, pertanyaan standar yang sering aku sampaikan kalau ada karyawan yang belum lebih cepat daripada biasanya.

“Betul, pak. Ada keluarga yang sakit …”, jawab salah seorang gelagapan yang aku tahu dia ‘nggak ber-Lebaran karena non muslim. Mereka berdua pun beranjak sambil coba mempengaruhi aku dengan berkata, “Hati-hati, pak. Mendingan pulang saja, jangan mau bekerja sendirian. Ini ‘kan kantor baru, kita ‘nggak tahu dulunya ada apa di sini. Apalagi ruangan yang lainnya pada ditutup, apa ‘nggak seram bapak kerja sendirian?”

Bah! Yang ‘nggak tahunya mereka ini bahwa aku sudah ‘nggak takut lagi sama hantu, malah hantunya yang takut samaku sekarang. Tahu kenapa? Karena wajahku lebih seram daripada hantu dan iblis yang ada saat ini! Hahaha … Betul, ‘kan? Jangan bilang sama siapa-siapa, ya …