Bahan Sermon Parhalado (2)

Marpos ni Roha tu Sangkap dohot Asi ni Roha ni Debata

Bahan sermon parhalado HKBP Immanuel Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Kamis, 15 September 2011

  1. Nas[1] Pembimbing

Epistel[2]  Roma 8:12-17

8:12 Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging.

8:13 Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.

8:14 Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.

8:15 Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!”

8:16 Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.

8:17 Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.

Evangelium[3] Markus 1:40-45

1:40 Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”

1:41 Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

1:42 Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir.

1:43 Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras:

1:44 “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.”

1:45 Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.

  1. Pendahuluan

Membaca nas perikop Epistel dari Roma 8:12-17 yang menjadi bahan diskusi malam ini untuk disampaikan sebagai bahan renungan/khotbah pada partangiangan weijk Rabu mendatang, ada beberapa pokok pikiran yang dapat ditarik, antara lain adalah:

(1)   tentang daging dan keinginan daging

(2)   kedagingan berakibat kematian, roh membawa kehidupan

(3)   status sebagai anak Allah, bukan roh perbudakan yang membuat ketakutan, dan “berhak” berseru “ya Abba, ya Bapa”

(4)   ahli waris dan berhak menerima janji-janji Allah akan kemuliaan

Tergantung pada situasi dan kondisi warga jemaat – yaitu psikologis dan keimanan sebagian besar yang hadir – dan sasaran khotbah yang ingin disampaikan tanpa melupakan nas perikop Evangelium dari Markus 1:40-45 yang menceritakan Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta, dan thema Minggu ini yang adalah “percaya akan rencana dan kasih Tuhan”, firman Tuhan dalam Minggu XIV setelah Trinitatis ini sebaiknya lebih diarahkan kepada konsepsi anak Allah yang menjadi ahli waris dengan menyebutkan syarat menjadi anak Allah. Keterkaitan antara nas perikop Ep dan Ev kemungkinan dapat dijalin dengan cara:

–       adanya pemahaman bahwa sakit penyakit adalah ditimbulkan oleh dosa (sakit kusta sebagaimana dipahami oleh masyarakat Yahudi pada masa itu), sesuatu yang dianalogikan oleh Paulus sebagai hidup menurut daging yang harus ditinggalkan dan diganti dengan hidup menurut Roh yang mampu mentahirkan setiap orang dari kuasa dosa.

–       sebagai anak Allah, kita berhak akan janji-janji Allah yang akan dinyatakan melalui kita untuk kemuliaan-Nya, dan kesembuhan dari penyakit adalah salah satunya (sebagaimana orang yang disembuhkan dari kusta tersebut, lalu memuliakan Allah).

  1. Daging versus Roh, dan Ahli Waris Kemuliaan Allah

Kalimat pembuka nas perikop ini mengantarkan kita kepada konsepsi hutang-pihutang, namun analogi tersebut sebaiknya dipahami dengan tepat sebagai “berkewajiban kepada”. Paulus mengingatkan, bahwa kewajiban kita bukanlah kepada daging, melainkan kepada Roh. Sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan, kehidupan kita bukan lagi didorong oleh keinginan daging, melainkan dipimpin oleh kuasa Roh.

Kerangka berpikir antara “daging” diperhadapkan dengan “roh”. Yang termasuk dalam kelompok “daging” adalah orang-orang yang sibuk dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup penuh dosa. Pada sisi lainnya – dan yang bertentangan dengan itu – adalah orang-orang yang sibuk dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup menurut pimpinan dan kuasa roh[4]. Ayat-ayat terdahulunya dalam pasal ini sudah banyak menjelaskan tentang konsepsi hidup menurut daging dan hidup menurut roh ini.

Orang-orang percaya ada di dalam Roh, dan Roh tinggal di dalam mereka. Melalui Dia mereka akan memiliki tubuh yang dimuliakan. Kenyataan-kenyataan ini membawa kepada satu kesimpulan yang pasti sebagaimana disampaikan dalam ayat-12. Dengan menganggap pembacanya masih hidup menurut daging, Paulus mengatakan bahwa mereka akan mati. Yang dimaksudkan adalah kematian rohani. Tetapi dengan menganggap mereka oleh Roh senantiasa mematikan perbuatan-perbuatan jahat, mereka akan hidup.

Anak Allah ialah orang-orang yang dipimpin oleh Roh Allah. Roh itulah yang memimpin. Untuk lebih mudah memahami, ada yang menyarankan terjemahan ayat-15 sebaiknya dengan keinginan yang berkaitan dengan hal dijadikan budak dan keinginan yang berkaitan dengan hal dijadikan anak. Akibat dari yang pertama adalah ketakutan, sedangkan hasil dari yang terakhir adalah kemampuan untuk berdoa dan menyapa Allah sebagai Bapa. Sebagai rujukan, kata Abba adalah sebuah istilah Aram yang kemudian dialihaksarakan ke dalam aksara Yunani yang lalu disalin ke dalam bahasa Inggeris. Arti kata ini adalah Bapa. Bersatunya orang Yahudi dan orang Yunani (bangsa non-Yahudi) di dalam Kristus tampak di dalam kata-kata pembukaan doa ini.

Roh Kudus ikut bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah. Ini benar-benar berarti bahwa Roh Kudus ikut bersaksi bersama dengan diri kita. Kesaksian ini diarahkan kepada setiap aspek dari kepribadian kita yang ikut membentuk diri kita. Dikemukakan bahwa orang percaya adalah ahli waris. Kita adalah ahli waris dari segala sesuatu yang akan dicurahkan oleh Allah, yang berarti kita adalah ahli waris bersama dengan Kristus, kepada siapa Allah telah memberikan segala sesuatu. Namun, menjadi ahli waris bersama Kristus berarti bersedia menderita bersama dengan Kristus. Penderitaan merupakan peranan yang ditetapkan Allah untuk Kristus. Penderitaan juga merupakan pengalaman yang ditetapkan Allah bagi orang-orang percaya di dalam Kristus. Orang-orang yang ikut berbagi penderitaan dengan Kristus juga akan ikut berbagi kemuliaan dengan Dia. Orang percaya lebih dahulu mengalami penderitaan sebelum ia mengalami kemuliaan.

Salah satu sumber terpercaya memberikan catatan yang berhubugan dengan perikop dimaksud sebagaimana kutipan berikut ini:

Salah satu tugas Roh Kudus ialah menciptakan perasaan kasih anak di dalam hati anak-anak Allah yang menyebabkan mereka mengenal Allah sebagai Bapa. Roh menyebabkan kita berseru kepada Allah. Dua tanda yang pasti dari pekerjaan Roh di dalam kita adalah seruan spontan kepada Allah sebagai “Bapa”, dan ketaatan spontan kepada Yesus Kristus sebagai “Tuhan”.[5]

  1. Refleksi

Dari uraian yang menjelaskan nas perikop tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa:

–       Untuk hidup menurut Roh, kita harus meninggalkan (atau paling tidak, menjauhkan …) dari hidup yang menuruti keinginan daging. Kedua hal yang memang saling bertentangan ini tidak mungkin dapat berlangsung pada saat yang bersamaan

–       Roh yang ada di dalam diri kitalah yang memampukan kita berseru “Abba” kepada Allah, yakni bilamana kita hidup menurut Roh. Menjadi anak, berarti memiliki karakter yang serupa dengan bapaknya. Syarat tersebut yang harus kita penuhi untuk berhak menjadi ahli waris kemuliaan

Jika ditarik dalam kehidupan kita masa kini dan di sini, kita yang berada dalam lingkungan orang-orang percaya (baca: lingkungan gereja dan terlibat dalam kehidupan jemaat HKBP Immanuel Kelapa Gading), ketegasan dalam memosisikan diri kita untuk hidup menurut daging atau menurut Roh adalah tuntutan yang disampaikan oleh nas perikop Epistel ini. Hal yang sama juga berlaku bagi semua warga jemaat[6]. Pada ayat-ayat di awal pasal-8 ini, Paulus sudah menunjukkan bahwa hidup tanpa kasih karunia Kristus adalah kekalahan, kesedihan, dan perbudakan kepada dosa.

Kini kita diberitahu oleh Paulus bahwa kehidupan rohani, kebebasan dari hukuman, kemenangan atas dosa, dan persekutuan dengan Allah, dapat terjadi melalui persekutuan dengan Kristus oleh Roh Kudus yang mendiami kita. Dengan menerima dan mengikuti pimpinan Roh, kita dibebaskan dari kuasa dosa dan dituntun kepada pemuliaan terakhir dalam Kristus. Inilah kehidupan Kristen yang normal di bawah pengertian sepenuhnya dari Injil.

  1. Ilustrasi

Rencana Tuhan dan Kita

      Menghakimi Tuhan hanya karena Anda sedang mengalami penderitaan dan tidak bisa memahami rencana yang dibuat-Nya adalah seperti seekor tikus yang memasuki piano yang besar dan merasa terganggu oleh kunci-kunci yang dimainkan oleh seorang pianis yang sedang mempesona pendengarnya dengan lagu-lagu Chopin dan Beethoven. Dalam otaknya yang kecil, tikus itu tidak bisa berpikir lain kecuali menarik kesimpulan  bahwa seluruh alam ini sudah menjadi kacau. Apakah kita tidak seperti itu ketika menghakimi rencana Tuhan dari sudut pandang kita?

      Contoh yang serupa adalah tentang seekor laba-laba, yang ketika membuat sarangnya di pinggir sebuah balok baja, tidak bisa melihat adanya kebaikan dalam kerusakan sarangnya yang terjadi karena gerakan dari balok itu pada konstruksi sebuah jembatan besar. Ia tidak pernah berpikir bahwa rencana dari arsitek yang cerdas itu mungkin lebih penting daripada sarang laba-labanya.[7]

Dari ilustrasi tersebut di atas, apa yang dapat kita peroleh sebagai pesan moral? Sebagaimana tertera pada ayat-17, yakni tentang janji-janji, di mana disediakan menurut kehendak Allah yang seringkali tidak kita pahami karena lebih cenderung pada penderitaan yang sedang kita alami. Bukan kepada apa yang ada di balik penderitaan tersebut.

  1. Diskusi/Tantangan/Bekal Warga Jemaat

Dalam sesi diskusi, ada kemungkinan warga jemaat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis yang seharusnya disikapi sebagai refleksi kerinduan untuk lebih meningkatkan kualitas keimanan. Beberapa pertanyaan yang mungkin akan timbul adalah:

(i)    Apakah ada pembeda yang signifikan antara keinginan daging dan perbuatan-perbuatan tubuh?

(ii)   Jika ahli waris dunia barulah berhak mendapatkan warisan setelah orangtuanya meninggal, apakah hal yang sama berlaku juga untuk janji-janji Allah?

(iii)  Tentang Roh yang menjadikan kita sebagai anak-anak Allah, apakah merupakan Oknum yang harus dipanggil ataukah memang sudah ada pada setiap orang sejak dilahirkan?

  1. Estimasi Waktu yang Dibutuhkan

Kegiatan

Waktu (menit)

Keterangan

Doa pembuka, dan pembacaan firman

7

Nas Epistel dibacakan secara responsoria

Penyampaian materi

30

Dari Pendahuluan sampai Ilustrasi

Diskusi dan doa penutup

23

Bergantung pada respon warga jemaat yang hadir, dan kesepakatan bersama tentang waktu.


[1] Nas berasal dari kata naskah yang disingkat menjadi nas. Pada literatur lama biasanya digunakan kata nats yang mungkin kata serapan bahasa asing, berasal dari naats. Dalam tulisan-tulisan masa kini sudah lazim menggunakan nas daripada nats.

[2] Epistel sebenarnya berarti surat-surat rasuli, yaitu pesan yang ditujukan untuk menggembalakan jemaat. Surat Rasul Paulus yang ditujukan kepada jemaat mula-mula (misalnya Galatia, Efesus, Filipi, dan lain-lain) adalah termasuk dalam kategori ini. Berbeda dengan HKBP, beberapa denominasi misalnya Gereja Kristen Indonesia masih menjunjung tinggi ketentuan ini dalam pembacaan firman Tuhan pada setiap ibadahnya.

[3] Evangelium berasal dari eungaleon yang kemudian diadaptasi menjadi Injil yang berarti kabar sukacita atau kabar baik. Sehubungan dengan Alkitab, yang dimaksud dengan Injil adalah kitab-kitab pertama Perjanjian Baru, yakni Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Almanak HKBP – salah satu hal baik yang mencerminkan keteraturan, yang tidak dimiliki oleh gereja/denominasi lain – seringkali masih mencantumkan perikop di luar keempat Injil dimaksud sebagai nas Evangelium; sesuatu yang sebenarnya sangat menyimpang dari pengertian dasar istilah ini.

[4] Charles F. Pfeiffer & Everett F. Harrison, The Wycliffe Bible Commentary Volume 3 (terj.) (Malang: Gandum Mas, 2008), 556

[5] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (terj.) (Malang: Gandum Mas, 2006), 1950

[6] Perkataan jemaat (= huria, dalam bahasa Batak) semakin jauh dari arti yang sebenarnya, karena seringkali dicampuradukkan dengan warga jemaat (= ruas, dalam bahasa Batak). Jemaat adalah kongregasi atau persekutuan Contoh yang benar, misalnya: Tobing adalah warga jemaat (= ruas) dari gereja HKBP jemaat (= huria) Immanuel Kelapa Gading.

[7] Frank Mihalic, 1500 Cerita Bermakna Jilid Satu (terj.), (Jakarta: Obor, 2008), 184

Andaliman – 145 Khotbah 02 Oktober 2011 Minggu XV setelah Trinitatis

Upah Mengikut Kristus …

Nas Epistel:  Mazmur 78:32-35 (bahasa Batak Psalmen 78:32-35)

78:32 Sekalipun demikian mereka masih saja berbuat dosa dan tidak percaya kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib.

78:33 Sebab itu Ia membuat hari-hari mereka habis dalam kesia-siaan, dan tahun-tahun mereka dalam kekejutan.

78:34 Apabila Ia membunuh mereka, maka mereka mencari Dia, mereka berbalik dan mengingini Allah;

78:35 mereka teringat bahwa Allah adalah gunung batu mereka, dan bahwa Allah Yang Mahatinggi adalah Penebus mereka.

Nas Evangelium: Lukas 18:28-30

18:28 Petrus berkata: “Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau.”

18:29 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya,

18:30 akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.”

Sepertinya ada kontradiksi (tepatnya: ‘nggak ‘nyambung …) antara nas perikop Ep dan Ev Minggu ini (inilah yang masih seirngkali menjadi pergumulan bagiku bilamana benang merah antara Ep dan Ev tidak begitu terlihat relevansinya …). Aha! Akhirnya dapat juga setelah melihat thema Minggu ini yang dihubungkan dengan peringatan hari lahirnya HKBP.

Nas Epistel berbicara tentang sepak-terjang bangsa Yahudi, dinamika hubungan mereka dengan Allah (yang ‘nggak jauh beda dengan aku juga, menurutku …). Ada pasang, ada surut. Pernah mesra banget dengan Tuhan, pernah pula marah kepada Tuhan. Dalam titik nadir hubungan yang renggang dengan Tuhan, eh … ada pula suatu kekuatan yang mengingatkanku dan menarik untuk kembali ingat dan berserah kepada Tuhan. Benar, ‘nggak jauh beda dengan Israel, ‘kan?

Israel bangsa yang terpilih, aku juga ahli waris dan anak Allah, ‘kan? Sesuai dengan khotbah Minggu lalu, bukan? Dalam setiap situasi dan kondisi, Allah tetap memandang orang-orang yang dikasihi-Nya. Dan roh yang ada di dalam diri setiap orang-orang percaya, memang sudah di-install untuk tetap responsif terhadap seruan Tuhan. Bergantung pada sensitivitas masing-masing …

Petrus menanyakan tentang “jambar” yang akan didapatkannya dari mengikut Tuhan. Petrus adalah satu-satunya murid Yesus di antara yang 12 itu, yang sudah menikah. Tentang kekayaan materi, pastilah dia masih kalah kaya dibandingkan dengan Matius yang mantan pemungut cukai.

Menurutku, Petrus tergerak untuk bertanya karena ucapan Yesus sebelumnya yang mengatakan bahwa sangat sulit bagi orang kaya untuk masuk kerajaan sorga (bahkan lebih mudah seekor gajah masuk melalui lubang jarum …). Bah, bagaimana pula orang yang tidak punya? Begitulah, kalau berpikirnya sangat matematis (yang lebih besar tidak bisa, apalagi yang kecil …) dan materialistis (yang kaya tidak bisa, apalagi yang miskin …). Padahal, dalam kesempatan yang sama, Yesus juga berkata, “Tapi, bagi Tuhan tidak ada yang mustahil …”. Kalimat ini menjadi terlupakan Petrus karena lebih fokus pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh orang muda yang kaya yang datang bertanya kepada Yesus (lihat perikop sebelumnya …).

Puji Tuhan, Yesus menenteramkan hati Petrus (dan juga murid-murid lainnya, pastinya …), bahwa pengorbanan mereka tidak akan sia-sia, asalkan semuanya itu dilakukan dengan motivasi yang benar. Yaitu mengikut Kristus.

Setiap kali mengetahui ada orang meninggalkan jabatan dan profesi yang sudah sangat bagus lalu beralih menjadi pengikut Kristus (apalagi menjadi pelayan penuh-waktu) aku suka terheran-heran (memang heranlah pekerjaan Tuhan yang ajaib itu …). Koq mau? Sudah susah-susah mengejar jabatan dan kekayaan, koq mau-maunya meninggalkan itu semua? Kalau jadi pendeta yang kemudian kaya (sudah mulai banyak yang seperti ini, kan?) masih mendingan, tapi kalau jadi pendeta yang miskin (yang seperti ini semakin banyak pula jumlahnya …) sampai kedatangan Kristus yang kedua kali (he … he … he …), macam mana pula itu? Itulah misteri panggilan. Selalu saja ada tawaran yang lebih menarik bersama Yesus daripada “sekadar” kekayaan duniawi.

HKBP punya contoh teladan. Gereja-gereja Protestan di Sumatera Utara – supaya jangan terkesan monopolistis – juga punya contoh teladan yang sama, yaitu Inger Ludwig Nommensen. Apostel Batak – istilah ini lebih aku sukai, daripada Apostel HKBP  walaupun beliau kemudian dinobatkan menjadi Eforus HKBP yang pertama – bersedia meninggalkan sanak keluarga di Jerman untuk mengabarkan kabar baik ke suku bangsa Batak yang masih sangat primitif yang beliau tidak kenal sama sekali. Dan masih banyak lagi di dunia ini yang seperti beliau. Dan itulah yang seringkali menenteramkan hatiku bilamana suatu saat bertanya kepada diri sendiri, koq masih mau melayani jemaat di Jakarta sehingga harus seringkali bolak-balik Bandung-Jakarta-Bandung. Pengorbanan itu belum ada apa-apanya dibandingkan orang-orang lain yang jauh lebih banyak mengorbankan dirinya kepada pelayanan jemaat. 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

Menuntut upah pelayanan? Sangat aneh bagi kebanyakan orang: koq jadi pelayan jemaat tapi mengharapkan upah alias pamrih? Namanya “tugas” di gereja, mana ada uangnya! Ada pelayan jemaat yang menuntut upah? Ada! Aku di antaranya, tapi – puji Tuhan – masih dalam taraf godaan, belum dalam tindakan. Dan juga datangnya godaan kadang-kadang, tidak sering-sering. Juga – puji Tuhan lagi – selalu bisa aku kalahkan. Haleluya!

Dalam kehidupan ini, kita pastilah seringkali menuntut upah dari mengikut Yesus. Jadi Kristen, koq masih susah? Jadi Kristen, koq tetap ‘nggak dapat pekerjaan yang baik? Jadi Kristen, koq belum dapat jodoh juga? Bahkan … jadi Kristen, koq masih dibiarkan teraniaya? (merujuk pada peledakan Gereja Bethel di Solo pada Minggu yang lalu, di antaranya …). Banyak lagi lainnya.

Pesan yang disampaikan Yesus melalui Ev Minggu ini jelas memberikan kelegaan bagi kita, bahwa upah kita yang melayani-Nya di bumi ini sudah disiapkan di sorga (“Upahmu besar di sorga …”). Melayani-nya bukan hanya di jemaat, melainkan semua segi kehidupan kita adalah “lahan yang basah” untuk ditanami kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah yang sedang menyiapkan bekal di sorga. Berlipat-lipat, seperti yang dikatakan oleh Yesus. Oleh sebab itu, jangan berkecil hati, teruslah melayani dan bersaksi!

Ibadah Khusus: Apanya yang Khusus? Ah, Hanya Sekadar Berbeda …

Setelah ada Ibadah Minggu yang dilakukan sore hari jam enam dengan format baru, barulah dua minggu yang lalu aku mendapat tugas pelayanan. Tanggal 11 September aku mendapat tugas sebagai kordinator ibadah, lalu 25 September yang lalu menjadi liturgis. Karena “format baru” (setelah ada desakan untuk mengubahnya daripada sekadar mengganti liturgi yang semula 100% berbahasa Indonesia dengan Agenda yang sama dengan Ibadah Minggu pagi), aku pun memberikan perhatian khusus untuk mempelajarinya. Saat sermon parhalado Kamis sore sebelumnya “yang berbeda” langsung terasa dengan pemberitahuan Inang pendeta Melva Sitompul, “Ini tata ibadahnya, amang. Semua sudah ada di sini, Amang tinggal membacanya saja”, seraya menyodorkan beberapa lembar kertas hasil print-out yang segera aku baca bahwa di dalamnya sudah tertera semua urutan pembacaan agenda: votum, firman Tuhan, hukum Taurat, dan lagu-lagu yang dikombinasikan antara Kidung Jemaat dan lagu-lagu rohani “bebas” (dalam artian bukan dari Kidung Jemaat dan atau Buku Ende HKBP). Tidak ada yang berbahasa Batak. Bahasa Indonesia, dan sedikit bahasa Inggeris. Karena lagu pertama dalam urutan tata ibadah, sesuai kebiasaan, aku pun menyanyikan lagu yang berbahasa Inggeris ini saat memimpin persiapan pelayanan ibadah di konsistori yang tidak semuanya menyanyikannya dengan fasih …). Minggu lalu itu karena berfungsi hanya “sekadar” kordinator ibadah, aku ‘nggak terlalu dalam melihat isi lembaran kertas tersebut.   

Usai ibadah, selesai menghitung kolekte dan mencatatnya bersamaan dengan jumlah hadirin dalam arsip, sebelum kembali ke Bandung, aku pun menyempatkan diri berdiskusi dengan Inang Pendeta di konsistori. Berdua saja, karena para pelayan yang lain sudah lebih dahulu pulang. Saat koster masuk dan menutup pintu konsistori, aku pun segera mencegahnya, dan meminta agar semua pintu terbuka (ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bukankah di gereja iblisnya banyak juga dan lebih tinggi tingkatan kemampuannya?)

Sebagai orang yang sangat menginginkan perbaikan pelayanan, aku pun memberikan saran kepada sang pendeta perempuan muda tersebut (dengan harapan bahwa yang usia muda akan lebih mudah memahami dan menerima perubahan, walau bukan ini yang pertama kali aku bicarakan tentang hal yang sama dengan beliau …) yang sepertinya diberikan tugas khusus dalam mengatur ibadah Minggu sore tersebut. Beberapa hal yang aku sampaikan yang kelihatannya bisa diterima oleh beliau:

(1)   Slide yang menayangkan gambar dari LCD-projector harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kenyamanan pelayanan, antara lain untuk menayangkan bacaan yang meminta jemaat untuk lebih interaktif. Misalnya pembacaan firman Tuhan secara responsoria, pengakuan iman Kristen, dan tuntunan lainnya (kapan harus berdiri, kapan harus duduk …). Bahkan khotbah pun sebaiknya memanfaatkan alat yang memang dapat membantu banyak hal (hal ini pernah aku lakukan saat berkhotbah di partangiangan wejk di konsistori dengan juga menampilkan video clipt yang sangat menggairahkan anggota jemaat yang hadir pada menjelang tengah malam itu …). Aku tidak rela kalau LCD-projector yang relatif mahal tersebut (kami membelinya dengan urunan beberapa pelayan yang punya perhatian terhadap peningkatan pelayanan kepada jemaat, dua kali, karena gereja tidak punya uang, dan yang pertama kami beli hilang dari rumah dinas pendeta …) hanya dipakai sekadar menayangkan lagu-lagu. Saat itu, aku “menantang” beliau bahwa saat bertugas dua minggu berikutnya semuanya akan seperti yang aku sampaikan, sekaligus menawarkan diri (karena dua minggu cukup bagiku untuk mempersiapkannya) untuk menyiapkan slide dengan teks lagu yang bergerak (karena terpisah jarak, aku berjanji akan mengirimkannya melalui e-mail); bahkan berkhotbah secara interaktif (dan saat itu sang pendeta muda menyanggupi untuk menyampaikannya kepada pendeta resort dan secepatnya mengabari aku, yang sampai saat ini pun setelah Minggu tersebut berlalu belum ada pemberitahuan kembali kepadaku …).

(2)   Suasana ibadah harus benar-benar berbeda daripada ibadah pagi yang sangat “ortodok” HKBP. Pemusik dan pemimpin lagu harus ekspresif, dan dinamis sesuai tuntutan lagu dan teks yang dibacakan. Masak lagunya sudah berirama rock, namun  pemusik dan pemimpin lagu berlagak “seperti tidak ada apa-apa” alias copy-paste ibadah pagi … Bahkan, saat itu aku bilang, “Bila perlu, pemain musiknya berdiri dan bergoyang sesuai hentakan musik …”.  

Sampailah Minggu, 25 September 2011. Aku bertugas sebagai pemimpin ibadah alias liturgis alias paragenda. Tidak berkhotbah, karena tidak ada kabar lebih lanjut dari inang pendeta. Bahkan sampai detik ini … Lembaran urutan tata ibadah pun aku terima beberapa menit menjelang pelaksanaan ibadah. Beliau mengatakan bahwa tata ibadah sudah die-mail namun tidak sempat aku lihat karena terlanjur pulang dari kantor Sabtu sore dan tidak buka lagi e-mail sampai Minggu sore itu. Artinya, apa yang sudah aku sampaikan tidak satu pun yang terwujudkan. Sayang sekali. Sia-sia? Mudah-mudahan saja tidak (karena tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan ini, ‘kan?).

Oh ya, menjelang ibadah sore itu, aku sempat ‘ngobrol dengan Amang Pendeta yang bertugas membawakan khotbah pada ibadah Minggu sore tersebut. Saat ini belaiu bertugas di HKBP Suprapto Jakarta dan “mengklaim” bahwa gereja kami dulunya belajar dari mereka yang sudah menjalankannya bertahun-tahun (dan benar-benar sangat berbeda daripada ibadah Minggu sore kami, apalagi ibadah Minggu pagi … wah, bagai bumi dan langit!). Dan aku juga menyampaikan bahwa sesuatu yang aneh bagi jemaat kami yang terletak di tengah kota Jakarta dan dikepung oleh banyak gereja non mainstream, namun tidak melakukan perubahan sesuai tuntutan kebutuhan umat yang tentu saja berubah dengan perubahan zaman.

Hal ini pernah aku sampaikan saat pembekalan parhalado partohonan dua tahun yang lalu dengan menyajikan presentasi yang didukung data kuantitatif internal yang mengarah pada kesimpulan bahwa sudah terjadi penurunan pada jemaat, dengan parameter: partisipasi ibadah, kolekte, dan pengucapan syukur. Bahkan dibandingkan dengan jumlah warga jemaat yang terdaftar, senjangnya sangat jauh dibandingkan dengan rata-rata yang hadir pada ibadah rutin. Dan saat itu aku mengingatkan bahwa ada sesuatu yang sudah tidak pas lagi pada pelayanan jemaat, dan saatnya kita mengevaluasi. Namun jawaban yang aku terima saat itu dari salah seorang penatua senior, “Angka itu salah. “Nggak mungkin sejelek itu.”. Saat aku tantang, “Kalau ini salah, mohon tunjukkan mana yang benar?”. Sayang sekali, sampai hari ini ketika beliau mulai sakit-sakitan sehingga jarang hadir di gereja, data yang benar versi beliau tidak pernah ada …

Saat sermon parhalado Kamis lalu, karena pembahasan materi khotbah mengarah kepada pelayanan yang semakin menurun, aku kembali mengingatkan presentasiku dua tahun yang lalu (judulnya Di Dia do Hita Saonnari?) sekaligus mengingatkan tentang sudah mendesaknya untuk melakukan perubahan, tak kusangka jawaban pak pendeta resort sangat mengejutkan, “Kita tidak harus menuruti apa yang dimaui oleh jemaat apalagi untuk merubah apa yang selama ini sudah kita kerjakan. Kalau begitu, kita jadi berubah-ubah terus sesuai selera jemaat. Gereja tidak boleh mengikuti selera jemaat …”. Suatu pernyataan yang sangat aneh bagiku. Yesus memang tidak berubah dari zaman purbakala sampai zaman akan berakhir, namun cara menyampaikan kabar baik-Nya tidaklah harus sama dari zaman purbakala sampai hari kiamat, bukan? Sangat aneh, dua orang pendeta di jemaat kami yang dua-duanya berumur lebih muda daripada aku dan sudah lama melayani di Jakarta, ternyata sangat sulit untuk berubah. Bagaimana pula mau berharap mereka yang akan memimpin perubahan? Jadi beda tipis dengan salah seorang penatua senior yang sampai sekarang menolak melayani ibadah Minggu sore karena menggunakan liturgi yang berbeda dengan ibadah Minggu pagi … Menyedihkan, memang!

Kembali kepada tugas pelayananku sebagai pemimpin ibadah Minggu sore 25 September 2011 yang lalu. Setelah menerima lembaran tata ibadah dari inang pendeta, aku pun memeriksanya dengan teliti sebagai bagian dari kewajibanku untuk memastikan bahwa aku akan menjalankan tugasku dengan baik. Begitu tiba pada Votum, Doa Pembuka, lalu Doa Penghapusan Dosa dan Janji Pengampunan Dosa, dengan jelas terlihat sangat berbeda dengan Agenda yang sudah aku pelajari sejak beberapa hari sebelumnya di rumah. Tidak satupun yang sesuai dengan Almanak HKBP untuk Minggu itu! Tentu saja aku bertanya kepada inang pendeta yang menyiapkan acara itu, dan dengan enteng dijawab, “Wah, itu sama dengan urutan yang ada di komputerku, Amang yaitu materi yang aku dapatkan dari gereja HKBP Suprapto dalam mempersiapkan tata ibadah khusus di gereja kita ini. Setiap Minggu selalu begitu, koq”.

            “Jadi, tidak inang periksa dan cocokkan dengan Almanak yang sekarang?”, tanyaku penasaran karena tidak biasa dengan pekerjaan di luar standar seperti ini.

            “Enggak, Amang …”.

            “Wah, jadi ‘nggak ‘nyambunglah dengan thema Minggu ini. Aduh, koq begitu caranya”.

Tiba-tiba ‘nyeletuk amang pendeta yang mau berkhotbah pada ibadah Minggu sore itu, “Kalau ‘nggak salah, yang kami kasih dulu itu buatan tahun 2006, inang. Sekarang sudah ‘nggak kami pakai lagi karena tuntutan perubahan dari jemaat. Kalau masih itu yang dipakai inang untuk gereja ini, wah sudah ‘nggak sesuai lagilah …”.

Owalah … begitulah salah satu kualitas pekerjaan hamba Tuhan di jemaat kami. Aku berdoa, semoga cuma kali itu saja pekerjaannya asal-asalan …

Andaliman – 144 Khotbah 25 September 2011 Minggu XIV setelah Trinitatis

Percayalah pada Yesus, dan Hiduplah sebagai Anak-anak Allah dengan Hidup Menurut Roh (bukan Daging)

Nas Epistel:  Roma 8:12-17

8:12 Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging.

8:13 Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.

8:14 Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.

8:15 Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!”

8:16 Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.

8:17 Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.

Nas Evangelium: Markus 1:40-45

1:40 Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”

1:41 Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

1:42 Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir.

1:43 Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras:

1:44 “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.”

1:45 Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.

Alangkah membanggakannya! Menjadi anak Allah – sehingga berhak memanggil ya Abba, ya Bapa pada Allah – dengan menjadi ahli waris kerajaan Allah. Bukan lagi diwarisi roh perbudakan yang lebih banyak menimbulkan rasa takut. Itulah pesan yang bisa aku lihat pada nas perikop Minggu ini, yang sekaligus juga adalah benang merah antara Ep dan Ev.

Membaca hukum-hukum yang diatur dalam Taurat (hampir semuanya mengatakan “Jangan” yang berarti larangan yang menurutku sudah tidak begitu pantas lagi dengan zaman sekarang yang cenderung “kerjasama” daripada “perintah”. Taurat itu sangat membelenggu kehidupan jemaat mula-mula sebagaimana surat ini ditujukan oleh Rasul Paulus, yang mengatur dengan sangat ketat (yang melanggar pasti akan dihukum!) larangan dalam kehidupan sehari-hari. Hukuman itu yang membuat orang-orang hidup dalam kungkungan ketakutan: takut berbuat salah dan takur mendapatkan hukuman (yang biasanya adalah sangat berat, baik berupa denda maupun hukum badan …).

Dan Paulus mengatakan bahwa orang-orang percaya adalah anak-anak Allah bilamana hidup dalam pemeliharaan Allah: menjauhkan diri dari keinginan daging dan beralih pada kehidupan yang dipimpin oleh roh. Itu menghilangkan rasa takut, sebaliknya menimbulkan keberanian dengan keyakinan bahwa Allah yang memberikan kekuatan.

Keberanian seperti itulah yang mendorong laki-laki berpenyakit kusta ini dalam usahanya mendapatkan kesembuhan dari Tuhan. Sebagai pengidap kusta, dia adalah orang terisolasi dan kehilangan banyak haknya dalam kehidupan masyarakat pada saat itu. Pemahaman masyarakat Yahudi pada saat itu bahwa penderita kusta adalah orang yang berdosa, najis (sehingga diharuskan berteriak “Najis!, najis!, najis!” setiap berada di keramaian …), tidak boleh bersentuhan dengan orang-orang yang bukan penderita kusta, dan hal-hal lain yang tidak manusiawi. Tentang hal ini aku sempat berpikir, bagaimana pandangan masyarakat Yahudi saat ini dengan telah diketahuinya bahwa penyebab penyakit kusta adalah bakteri mycobacterium leprae yang tentu saja sangat sulit dipahami punya kekerabatan dengan perbuatan dosa … 

Keberanian yang luar biasalah (yang aku yakini sebagai kekuatan yang didorong oleh roh …) yang membuat si kusta berani datang kepada Yesus. Bisa dibayangkan bagaimana tanggapan dan tatapan orang-orang di sekitarnya saat itu. Mungkin ada juga yang berusaha menghalang-halanginya untuk mendekat kepada Yesus. Dan Yesus benar-benar menunjukkan keluarbiasaan-Nya. Tanpa takut (masak Tuhan takut, ya?) Dia berdialog bahkan menjamahnya dan menyembuhkannya dengan tuntas.

Semula dia terkesan ragu – dengan mengatakan “kalau Engkau mau …” – namun Yesus menepis keraguannya dengan mengatakan: “Aku mau …” . Menurutku, si kusta bukan ragu, melainkan menunjukkan kerendahan hatinya (yang ditunjukkan dengan posisi berlututnya di hadapan Yesus). Bukan hanya sakit fisik, Yesus bahkan menyucikannya (mentahirkan) dari dosa. 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

Dosa. Itulah yang membelenggu kita. Membuat kita diliputi rasa takut. Dan itu ditegaskan kembali dalam nas Ep ini, adalah buah karya si iblis yang selalu merongrong kita (dan memperbudak kita dengan tawaran nafsu duniawi alias keinginan daging) dan menjauhkan kita dari kasih karunia yang diwariskan oleh Allah Bapa. Nas ini dengan tegas menyatakan bahwa kita adalah ahli waris kerajaan surge, dan berhak akan kekekalan bersama-sama dengan Kristus sebagaimana kita juga dituntut untuk kuat menahan penderitaan bersama-Nya.

Oh ya, ada pertanyaan yang menggelitik: kenapa sih Yesus melarangnya untuk menyampaikan tentang kesembuhannya kepada orang-orang? Bukankah itu juga merupakan suatu kesaksian tentang kemuliaan Allah? Jawabnya: belum waktunya karya keselamatan Allah disebarluaskan, karena Kristus belum dimuliakan dengan kebangkitan-Nya dari kematian. Satu lagi: resiko orang yang baru menerima hidup baru cenderung akan meluap-luap semangatnya dalam menyebarluaskan berita kesukaan yang sangat berpotensi membuatnya menjadi “sombong rohani”. Hal itu akan menjadi penghalang bagi Yesus dalam menyebarluaskan ajaran kasih karunia karena akan dihambat oleh orang-orang yang tidak menyukainya (bahkan berencana untuk membunuh-Nya …). Ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi adalah termasuk di dalamnya.

Kuasa penyembuhan itu masih berlangsung sampai saat ini. Tidak sim salabim lagi seperti yang dilakukan Yesus dengan di kusta, melainkan Tuhan bisa memakai orang-orang di sekitar kita sebagai jalan kesembuhan dan perpanjangan tangan-Nya. Dokter, perawat, dan pendoa adalah alat yang sering dipakai oleh Tuhan pada zaman ini. Satu lagi, tidak semua penyakit harus disembuhkan oleh Tuhan (‘nggak ada peraturan yang seperti itu, ya …). Sembuh dan atau tidak sembuh adalah hak istimewa Tuhan. Kita hanya bisa meminta: meminta untuk disembuhkan, dan meminta untuk diberikan kekuatan dalam menahan penderitaan yang ditimbulkan oleh penyakit. Jadi, jangan pernah memaksa Tuhan untuk menyembuhkan sakit penyakit karena sikap seperti itu menunjukkan kita lebih berkuasa daripada Tuhan karena kita yang mengatur Tuhan. Teologi seperti ini – menurutku, ini sangat menyesatkan! – yang mengatakan bahwa Tuhan pasti menyembuhkan, dan harus menyembuhkan karena anak-anak Tuhan tidak akan menderita sakit penyakit, harus diwaspadai. Hati-hati!

Konser Batak Music in Harmony: Yang Kedua atau Ketiga? Mana HKBP? Maju, Tapi …

Senin, 12 September 2011 yang lalu aku kembali “terpanggil” menghadiri pertunjukan musik Batak. Tahun 2009 yang lalu aku sudah hadir dan menikmati acaranya. Benar-benar bisa menjawab kerinduan akan konser musik Batak yang bermutu, dengan penampil yang berkelas: Victor Hutabarat, Jack Marpaung (keduanya tidak tampil kali ini) dan pemusik kondang lainnya. Sempat juga aku sedikit terganggu dengan “serial”. Di tiket pertunjukan disebutkan sebagai 2nd Batak Music in Harmony – yang berarti kelanjutan dari 1st Batak Music in Harmony yang tahun 2009 diselenggarakan di Sanctuary Hall Menara Kuningan, Jakarta – namun disampaikan oleh Indra Jaya Sihombing bahwa yang pertama adalah Januari 2006 (dan hal yang sama tertulis juga di buklet pertunjukan).

Diselenggarakan di Balai Sarbini Jakarta, menunjukkan bahwa konser Batak tidak seharusnya kampungan. Siapa yang tidak tahu kelasnya Balai Sarbini? Banyak pertunjukan musik berkelas diselenggarakan di gedung yang megah ini. Konstruksinya pun tentu saja mendukung tata-suara yang benar-benar mendukung pertunjukan (cuma, sayangnya telingaku sempat terganggu di awal pertunjukan malam itu karena speaker yang mendenging keras dan beberapa orang yang duduk di sekitarku memegang telinga masing-masing untuk menahan gangguan kenyamanan yang sempat terjadi, yang untungnya menjadi lebih baik di kemudiannya …).

Pembawa Acara: Siapa namanya? “Apa Sudah Siap?”, dan “Jangan Pulang Dulu!”

Memasuki gedung pertunjukan – yang kalau ‘nggak salah, baru kali ini aku berada di sana walau bertahun-tahun tinggal di Jakarta (hal yang sama terjadi dengan tiga orang kawanku lainnya yang bersamaku datang malam itu – penonton disuguhi tayangan iklan rokok Djarum Super di layar pada panggung yang besar. Berulang-ulang, dan persis yang sering terlihat di layar televisi di rumah. Mulai membosankan, sehingga ada yang ‘nyeletuk, “Mentang-mentang sponsor …”, yang segera juga aku timpali, “Ah, kita juga pasti begitu kalau sudah jadi sponsor. Bahkan mungkin bisa lebih rakus daripada mereka ..”. segera saja menimbulkan derai tawa dari yang lainnya, kawan-kawan sekantor yang memang punya pengalaman mensponsori acara yang seringkali rakus untuk menguasai banyak hal. Memang kecil-kecilan, tapi kelakuannya pastilah ‘nggak jauh-jauh dari keinginan menguasai segalanya …

Oh ya, pastilah berkat sponsor juga yang memungkinkan pertunjukan kali ini bisa terselenggara di gedung yang mentereng ini. Yang sederhana saja, kali ini ada buklet tentang pertunjukan yang tahun 2009 yang lalu aku tidak mendapatkannya. Hidup dan berjayalah sponsor!

Sesuatu yang baru: acara dibuka dengan Gondang Mula-mula. Mengingatkanku pada pesta pembangunan di gereja selaku parhalado yang diberikan kehormatan dalam pembukaan seremonial sebelum dilanjutkan dengan untaian acara-acara manortor lainnya. Oh ya, sebelumnya ada seseorang yang kelihatannya berperan sebagai pembawa acara. Perempuan, berpakaian rapi yang terbuat dari ulos. Sampai acara berakhir aku ‘nggak tahu siapa namanya – bahkan boru apa pun aku ‘nggak tahu … – karena seingatku perempuan muda tersebut tidak pernah memperkenalkan diri. Beberapa kali kehadirannya terasa mengganggu. utamanya karena seringkali melontarkan pertanyaan – berulang-ulang – kepada penonton, “Sudah siap menyaksikannya?” yang jujur saja aku ‘nggak tahu apa relevansinya, karena penonton pastilah selalu siap untuk menyaksikan acara selanjutnya (kalaupun ‘nggak siap, apakah suguhan acara dihentikan?). Karena berulang-ulang mengajukan pertanyaan yang sama, aku jadi bercuriga – dan memang terbukti – jangan-jangan pengisi acara yang belum siap … dan beberapa kali terjadi, ada senjang beberapa menit untuk menantikan kedatangan (tepatnya: kemunculan) dan penampil benar-benar siap untuk memulai suguhan …

Mungkin itu trik yang dipergunakan MC untuk mengatasi masalah itu dan berusaha interaktif dengan penonton. Namun, sebaliknya aku sempat berpikir mendingan tidak ada MC karena masing-masing penampil biasanya setelah usai dengan suguhannya, memanggil pengisi acara selanjutnya. Dan itu biasanya lebih menarik, daripada si MC yang berusaha menjelaskan tampilan berikutnya tapi salah … Hal ini erlihat ketika memanggil Triniti Choir yang disampaikannya ada tiga judul lagu yang akan dibawakan, namun hanya mampu memberi tahu dua judul saja. Faktanya? Lebih dari tiga judul lagu yang dinyanyikan!

Masih ada lagi: berulangkali MC meneriakkan supaya penonton jangan pulang karena akan banyak penampil bagus akan muncul di panggung malam itu. Bayangkan saja, sejak awal sudah dicekoki dengan “himbauan” seperti itu, apa yang akan muncul di benak penonton? Bisa jadi ada yang berpikiran bahwa acara ini tidak bagus-bagus amat sehingga harus “memaksa” penonton untuk tetap duduk di kursi sampai menit terakhir …

Yang Rendah Hati yang Memberikan Penghargaan

Sambutan pembukaan dari Indra Jaya Sihombing mengesankan sebagai ungkapan perasaan dari orang yang rendah hati. Aku suka dengan cara beliau curhat tentang betapa sulitnya menjual tiket kepada orang-orang Batak (yang aku pahami sebagai “orang-orang besar” …) dan mengajak mereka berpatisipasi menyukseskan acara ini. Aku sempat berpikir mengapa HKBP sebagai gereja (yang mengklaim dirinya) besar dan sangat identik dengan Batak, tidak mengambil bagian. Tayangan yang melatarbelakangi beberapa suguhan acara berulangkali menampilkan gereja di Tapanuli (Huta Dame) yang jelas-jelas adalah HKBP. Saat itu aku sempat berandai-andai: andai aku jadi Eforus, atau Sekjen, atau Praeses, atau pun “sekadar” Pendeta Resort, pastilah mudah bagiku menggerakkan umat gembalaanku untuk berpartisipasi aktif (membeli tiket dan hadir) pada acara yang memang bagus ini. Atau, sebaliknya, kenapa Panitia tidak menggarap segmen umat HKBP ini, ya? Di beberapa jemaat yang sempat aku layani belakangan ini, kabar konser musik Batak ini sama sekali tidak terdengar. Sayang sekali …

Untunglah, ada juga kabar gembira. Pak Indra Jaya menyampaikan bahwa tiket terjual habis. “Meskipun kursi-kursi masih banyak yang kosong, mungkin disebabkan oleh mereka masih dalam perjalanan sepulang dari kantor”, demikian ucapan beliau yang membuatku sedikit lega. Puji Tuhan, hal itu kemudian terbukti karena semakin lama semakin banyak saja yang hadir dan menikmati suguhan acara.

Ada satu suguhan di awal yang membuatku terharu, yaitu pemberian penghargaan kepada Nortier Simanungkalit, penggubah besar orang Batak dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Sudah sangat sepuh dan didorong di kursi roda – dan menyampaikan pesan yang sangat menggugah melalui tayangan di layar lebar yang walau kurang jelas nada bicaranya – pesan untuk seniman Batak agar mencipta hal-hal yang bernilai bagi “bangsa” Batak jelas sangat tajam, mungkin beliau prihatin dengan kecenderungan seniman masa kini yang hanya “sekadar mencipta”. Penghargaan (kalau tidak salah sebesar Rp 25 juta) yang disampaikan oleh pak Indra Jaya didampingi pak Sanggam Hutapea dan pengacara Hotma Sitompul menjadi lebih besar nilainya, karena diberikan pada event seperti ini. 

Tayangan Selingan untuk Bupati Masa Depan?

Selain menayangkan iklan sponsor, layar lebar di panggung biasanya dimanfaatkan untuk memperindah penampilan di panggung. Video clipt adalah salah satu medianya. Tayangan kehidupan di Tapanuli (jemaat meninggalkan gereja usai ibadah Minggu, anak-anak berlompatan berenang di Danau Toba, misalnya) memang membantu memperindah tampilan artis di panggung. Sayangnya, karena terjadi pengulangan (dan berkali-kali), kekuatannya menjadi berkurang. Kurang kaya dengan koleksi lain yang bermutu, itulah kesan yang aku tangkap.

Masih ada lagi. Penampilan pak Sanggam Hutapea yang dicantumkan sebagai pengurus yayasan (apa namanya, aku ‘nggak tahu, karena ‘nggak terlihat dari tempatku duduk saat itu …) dengan pesan bermutu, menjadi mengganggu. Selain berulang-ulang – bahkan pernah sampai tiga kali berturut-turut – saat penayangannya juga seringkali ‘nggak pas. Alangkah indahnya kalau ditayangkan (satu kali saja) dan ‘nyambung dengan lagu dan atau musik yang sedang ditampilkan di panggung.

Pak Sanggam Hutapea yang mungkin sebagian besar orang Batak tahu bahwa beliau pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Tapanuli Utara (dan menurutku mungkin calon terbaik sebenarnya, namun masih kalah karena faktor lainnya …), bisa terkesan sebagai “memaksakan diri” agar dikenal oleh masyarakat Batak …     

Ulos Batak Hanya Sekadar Asesoris?

Batak identik dengan ulos, sebagai pelengkap penampilan setiap orang Batak. Dahulu kala dipakai ke mana pun orang Batak pergi, namun kini peranannya sudah semakin seringkali jauh dari falsafah yang dikandung olehnya. Lihatlah penampilan artis-artis pendukung acara ini. Beberapa aku lihat menyandang ulos yang bukan “jenis” yang pas untuknya. Ruli Tampubolon pakai sedum, yang lainnya dilingkarkan di leher (bukan disandang di bahu), aduh … aku jadi sedih membayangkan betapa sulitnya inanguda-ku di Tarutung martonun ulos untuk menyambung hidupnya. Selain faktor ekonomis, tentulah beliau berharap agar ulos dipergunakan sesuai dengan falsafahnya.

Koq Boru ni Raja Kurang Raja?

Masih berhubungan dengan penampilan pakaian artis pendukung acara. Kalau penampil pria aku lihat semuanya berpakaian yang rapi dan sopan. Berbeda halnya dengan artis perempuan. Hanya Cassandra yang aku ingat yang benar-benar berpakaian dengan tubuh terbalut kain yang pantas. Juga Triniti Choir yang mungkin biasa tampil di lingkungan gereja yang lebih menuntut kepantasan berpakaian. Yang lainnya, alamakkk

Serba tanggung, menurutku. Mau persis jadi Diva – yang menuntut tampil berpakaian glamour sehingga seringkali “terpaksa” harus ada yang “terbuka”, selain suaranya yang memang sudah sangat bagus – tapi ketradisionalannya memaksa penampil malam itu terkesan “malu-malu” sehingga masih berupaya agar terlihat sopan dalam berpakaian. Contohnya, Mega Sihombing – yang malam itu dideklarasikan sebagai nyonya Mauro Goia sehingga berubah nama menjadi Mega Mauro – tampil dengan celana jins bahu terbuka yang berusaha ditutupi dengan blus transparan, malah terlihat aneh. Menurutku, karena ini adalah pertunjukan Batak yang masih menjunjung tradisi Batak yang sangat ketat dengan aturan sopan santun, sebaiknyalah berpakaian rapi. Kehebatan kemampuan sesorang tidaklah ditentukan dengan keglamorannya dalam berpakaian. ‘Nggak tahu juga kalau penampilan berbusana seperti itu ada dipengaruhi oleh penonton yang mengharapkan penampilan ala diva … (oh ya, dibanding tahun 2009 yang lalu, pertunjukan malam itu relatif banyak dihadiri oleh orang-orang asing).

Koreografi Menunjukkan Apa?

Ada juga yang baru, yakni koreografi yang mengiringi beberapa lagu terpilih. Aku tidaklah terlalu paham dengan dunia pertunjukan, namun sebagai penikmat pertunjukan aku merasa tidak nikmat dengan koreografi yang ditampilkan. Tidak kena dengan thema lagu yang sedang disenandungkan dan gerakan tari yang sedang ditampilkan juga tidak menarik untuk dilihat.

Mega yang melantunkan Ramba Dia diiringi tarian yang dinamis yang sesuai dengan rentak lagunya yang memang dinamis. Tarian (entah apa judulnya, ‘nggak ada yang pernah memberi tahu …) yang ditampilkan lebih mirip dengan tarian Papua bila menilik kostum penarinya. Pernah ada yang agak mendingan, yaitu Sihol di mana seorang ibu dengan ulos membalut tubuhnya dan juga tutup kepala dari ulos menampilkan gerekan manortor dengan seorang anak perempuan kecil. Tapi, apa makna tariannya dihubungkan dengan lagu, aku sama sekali ‘nggak tahu. Hampir sama dengan “kinerja” MC, koreografi yang ditampilkan masih lebih baik untuk disimpan saja dulu karena beberapa kali bahkan mengganggu kenikmatanku menikmati suguhan lagu dan musik (ada alunan suling Korem Sihombing dan Marsius Sitohang yang kedua-duanya memang luar biasa). Mungkin cita rasa seni yang aku miliki juga belum mampu menikmati koreografi yang bernilai “tinggi” seperti yang ditampilkan malam itu, entahlah …  

HKBP-ku Sayang yang Aku Sangat Sayangkan

Seperti aku sampaikan semula, aku turut prihatin mencerna sambutan pembukaan Indra Jaya khususnya menyangkut perhatian orang Batak untuk acara ini, sehingga jadi mengandai-andai menjadi “boss” di HKBP yang tentu punya pengaruh di HKBP. Bagiku, dalam menyemarakkan perayaan Jubileum 150 tahun HKBP (yang menurut banyak orang sebenarnya yang lebih tepat adalah 150 tahun kekristenan masuk di Tanah Batak …)  lebih tepat bila Kantor Pusat HKBP memasukkan konser musik Batak ini sebagai rangkaian dari perayaan besar tersebut.

Mungkin dukungan akan menjadi lebih luas lagi. Dan tidak tertutup kemungkinan bisa menggunakan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan untuk menampung antusiasme warga HKBP (yang paling kental dikenal dengan kebatakannya) menyaksikan konser yang memang banyak menyinggung HKBP (yang memang sejarahnya sangat dekat dengan perkembangan kehidupan orang Batak.

Bobotnya akan menjadi lebih tinggi. Baik untuk acara konser ini sendiri, maupun kepada HKBP (dan mungkin juga “boss-boss” HKBP …) yang mulai sering dikritik kepemimpinannya yang nyaris babak belur …

Mendukung konser ini masih lebih baik daripada menghabiskan uang miliaran rupiah untuk seremonial yang dilakukan di seantero di mana ada jemaat HKBP yang puncaknya akan dilakukan di Senayan (mungkin mengundang presiden SBY untuk hadir yang juga citranya semakin babak belur belakangan ini, sehingga mulai ada ucapan sinis di kalangan jemaat: bagi boss-boss HKBP masih lebih penting mengundang SBY yang hadir daripada Tuhan Yesus sang kepala Gereja yang hadir … ).

Di Mana Batak yang Lainnya?

Malam itu aku mengajak kawan-kawanku untuk menonton. Lebih satu bulan sebelumnya – tatkala mengetahui ada konser ini – aku segera mengontak kawan-kawan Batak di perusahaan tempatku bekerja saat ini dengan “mempromosikan” kebagusan acara ini. Tampilan tahun 2009 yang memang bagus, aku jadikan sebagai referensi. Ada beberapa yang urung karena tidak cocok dengan jadual pekerjaan mereka. Selain aku yang Batak dari Tapanuli Utara, malam itu ada juga kawanku yang Batak Karo, dan Batak Simalungun yang mereka sangat antusias mengikutinya. Malam itu aku baru sadar bahwa bukan semua teman yang aku ajak adalah orang Tapanuli sehingga aku dengan murah hati menjelaskan tampilan yang sedang dipertunjukkan di panggung karena mereka tidak mengerti bahasa Tapanuli. Untuk menghibur yang dari Karo, aku bilang, Silih, ada juga yang pakai ulos Karo artisnya itu, ‘kan?”. Dan kawanku itu – yang sudah menyempatkan diri datang dari Purwakarta tempatnya bertugas saat ini – hanya bisa tersenyum kecil karena memang sampai akhir acara hanya Batak yang dari Tapanuli yang ditampilkan.

Sayang sekali …

Penutupan yang Mulai Membosankan

Aku sempat mendengar bahwa Amigos Band adalah salah satu grup musik Batak yang menjadi favorit. Terkenal dengan lagu-lagu yang dipopulerkan oleh mereka yang jujur saja, aku pun tidak pernah mengidolakan grup ini, tapi dari tepukan tangan dan siutan penonton yang mengiringi kemunculan mereka di panggung aku semula berharap mereka akan menampilkan suguhan yang sangat bagus. Hal yang akhirnya tidak aku dapatkan.

Lagu-lagu yang mereka dendangkan sama sekali tidak menarik bagiku. Selain memang bukan penggemar, lagu-lagu yang mereka ciptakan sendiri itu tentu saja menjadi tidak akrab bagiku. Upaya ketiganya bersenda gurau di panggung dengan joke sekenanya (mungkin tanpa skenario …) menurunkan ketertarikan pada konser malam itu. Mungkin juga pada penonton lainnya. Pasangan berumur yang duduk di depanku yang sedari tadi isterinya sudah tertidur di bahu kanan sang bapak, akhirnya memutuskan untuk pulang. Penonton yang lain juga, yang terlihat dari banyaknya orang yang berseliweran di depan kami.

Aku pun akhirnya mengajak rombongan kami untuk beranjak pulang. Ajakan manortor bersama di akhir acara sebagaimana disampaikan MC berulangkali menjadi tidak menarik lagi bagiku. Kebosanan yang mulai menghinggapi membuatku tidak lagi mempertimbangkan hal itu dan lebih memilih pulang ke Bandung malam itu.

Maju, Tapi …

Harus aku akui, bahwa dalam banyak hal, pertunjukan malam ini lebih baik daripada konser tahun 2009 yang lalu. Format acara (dibuka dengan gondang dan ditutup dengan tortor) adalah sesuatu yang baru dan sangat bagus. Penampil yang mendapat pujian adalah: BatakDIVO (yang aku ‘nggak ‘ngerti kenapa mesti ditulis seperti ini, dan kenapa pula mesti “latah” dalam memberikan nama …) dengan sopranos yang sangat bagus, Cassandra (penampil pertama yang sempat “menjanjikan” akan suguhan yang sangat bagus dari awal hingga akhir bagiku, namun sayangnya tidak menjadi kenyataan …), Triniti Choir (yang semula ditampilkan sebagai “sekadar” backing vocal, ternyata sangat bagus ketika diberikan kesempatan tampil secara mandiri), pesuling Korem dan Marsius (‘nggak usah dikomentari lagi, keduanya sangat bagus!), dan Dewi Marpaung (yang walaupun tidak menyandang kebesaran nama ayahandanya Jack Marpaung, bagiku tetaplah layak diacungi jempol …).

Yang lainnya? Tidak terlalu luar biasa, bagiku. Yeppi Romero tidak lebih bagus dibandingkan penampilannya dua tahun yang lalu. Ditambah lagi menampilkan dua orang perempuan muda Batak, malah membuatnya jadi kurang “menggigit” …

Konser kali ini yang mengusung New Paradigm of Batak Music sebagai thema hanyalah menjadi ajang unjuk gigi pasangan suami-isteri baru Mega Mauro. Gerak-gerik “kebanci-bancian” dan upaya Maurio dalam berbahasa Batak (plus Indonesia) terpatah-patah membuatnya aneh sekaligus memancing tawa hadirin. Lainnya? Tidak terlalu istimewa, karena memadukan antara musik tradisional dengan musik modern bukanlah hal yang baru kali ini terdengar. Yang lain sudah mulai melakukannya sejak lama …

Malam itu ketika di jalan menuju ke Bandung bersama kawan yang adalah Batak Simalungun yang sebenarnya setengah “terpaksa” hadir karena aku mengajaknya, aku menimbang-nimbangi apa yang sudah aku dapatkan dari konser itu. Penampilannya secara keseluruhan memang bagus (bahkan beberapa di antaranya sangat bagus, di antara artis lain yang ala kadarnya sehingga mengurangi bobot pertunjukan malam itu …). Pengorbananku yang harus cuti khusus supaya bisa ke Jakarta untuk menonton dengan tidak terlambat dan ditambah dengan potongan diskon 50% untuk harga tiket rombongan, masihlah sepadan dengan apa yang aku dapatkan malam itu. Menjelang pergantian hari aku sampai di rumah, dan disambut dengan pertanyaan oleh isteriku tentang pertunjukan malam itu (yang mereka tidak bisa hadiri karena boru-ku si Auli masih akan mengikuti ulangan di sekolah besok harinya …), aku jawab singkat, “Bagus … rugi kalau ‘nggak menontonnya”.