Selamat Tinggal Kamar Kos … Kembali Bertugas di Jakarta, Kembali ke Rumah!

Malam ini adalah malam terakhir aku ‘nginap di kamar kos yang sudah aku tinggali sejak Minggu, 15 Maret 2015. Yakni sejak aku ditunjuk (kembali) menjadi Area Sales Manager Tangerang meliputi Tangerang Selatan, Jakarta Selatan (ring satu Head Office dan West Java Region tempat aku bernaung sehingga hampir setiap bulan direpotkan untuk persiapan menyambut tamu yang memang seringkali diarahkan ke wilayah kerjaku dengan alasan “dekat ke kantor sehingga para tamu tidak menghabiskan banyak waktu untuk market visit …”), dan Serang. Banyak kenangan – seperti yang disampaikan oleh koh Benny tetangga kamarku begitu tahu aku akan meninggalkan kehidupan kos di Anggrek Loka AC-58 Bumi Serpong Damai, Tangerang – salah satunya adalah kehilangan mobil Kijang Innova B-1854-SIO warna hitam yang baru beberapa bulan aku dapatkan sebagai kendaraan dinas yang disediakan oleh perusahaan pada 07 Juli 2015 beberapa hari menjelang Lebaran. Aku akan menceritakan tentang hal ini nanti …

Hidup ‘nge-kos menjadi keputusan kami sekeluarga – aku, Auli, dan mamaknya – harus diambil mengingat betapa jauhnya perjalanan dari rumah kontrakan kami di Harapan Indah, Bekasi ke kantor Distributor PT Sekawan Pangan Jaya di Pamulang, Tangerang Selatan tempat aku dan timku menumpang. Butuh lebih dua jam jika perjalanan normal, dan akan bertambah lama jika perjalanan lewat dari jam tujuh pagi karena bersaing dengan anak-anak sekolah dan orang kantoran. Juga biaya bensin dan tol yang harus aku bayar manakala melewati pintu tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road) dan BSD.

Semula aku merasa “geli” juga, koq tinggal di Jakarta (persisnya Bekasi), ‘ngantor di Jakarta (persisnya Tangerang) harus ‘nge-kos di BSD. Namun, manakala menyadari bahwa penghuni rumah kos ini juga ada beberapa orang yang keluarganya tinggal di Bekasi semunya menjadi normal terasa. Ada koh Benny yang bekerja di optik, ada Dave yang jadi DJ di salah satu diskotik (yang membuat mak Auli terperanjat ketika pertama kali kami datang di rumah kos ini melihat tattoo di sekujur tubuhnya ketika mempersilakan kami masuk untuk menemui mas Dirin selaku pengurus rumah kos ini sekaligus orang kepercayaan pasangan bu Lia dan pak Andryanto sang pemilik rumah kos), ada perempuan Jepang yang setiap pagi jam setengah delapan bersembahyang Shinto dengan mengeluarkan suara nyaring (sempat aku mengira semula adalah suara provider internet saking kerasnya dan dengan bahasa yang tak satupun penghuninya memahaminya …), ada juga Alberto yang tinggal persis di depan kamarku yang bernomor lima (laki-laki paruh baya Italia yang seringkali didatangi anak dan isterinya yang pekerjaannya menggunakan notebook di tengah malam), ada Kevin, ada Erwin (orang Medan yang bekerja di perusahaan lift Otis), juga beberapa laki-laki dan perempuan lain yang tidak begitu aku kenal.

Biasanya aku Jum’at tidak menginap di sini karena pulang ke rumah di Bekasi (setelah mengikuti sermon parhalado di HKBP Immanuel Kelapa Gading, Jakarta Utara), lalu kembali pada Minggu malam. Setelah Tangerang Area bersama North Jakarta Area dan South Jakarta Area ditahbiskan sebagai “Danger Zone Area”, maka aku jadi lebih sering kembali ke kosan pada Senin karena pagi harinya jam sepuluh harus mengikuti Sales Evaluation Day di West Java Region Office di Gedung Antam di Jl. T. B. Simatupangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ditambah lagi sejak Juli 2015 aku memutuskan ikut perkuliahan doktoral di Sekolah Tinggi Teologi Lintas Budaya di Kelapa Gading, maka menjadi bertambahlah hari-hariku tidak menginap di kosan karena seringkali pulang ke Bekasi usai perkuliahan yang selalunya selesai setelah tengah malam. Karena berangkat ke kantor pagi dan pulang setelah lewat jam delapan sehingga persisnya hanya “sekadar” menumpang tidur, aku ‘nggak begitu banyak mengenal penghuni rumah kos ini.

Oh ya, aku juga baru tahu minggu lalu ketika koh Benny memberi tahu bahwa ada juga penghuni yang adalah perempuan simpanan. “Ah … masak bang Tobing ‘nggak tahu? Itu perempuan yang tinggal di lantai tiga. Mobil itu hadiah dari laki-laki beristeri yang seringkali mendatanginya …”, katanya setengah berbisik waktu aku tanya siapa pemilik mobil Honda Freed putih yang baru kali itu aku lihat dan diparkirkan di lapangan rumput di sebelah samping kanan rumah kos. “Mobil itu juga jarang dipakai makanya diparkir di situ terus. Habisnya, dia sendiri ‘nggak bisa bawa mobil ..”, imbuhnya sambil tersenyum penuh arti. Mungkin dia juga heran mengetahui betapa aku tidak mengetahui tentang hal tersebut yang mungkin dianggap sudah jadi pengetahuan umum penghuni rumah kos ini. Bah!

Menurut surat pemberitahuan Sales Management yang dirilis awal Februari yang lalu aku ditugaskan kembali ke Head Office, ke Department tempatku bekerja tahun 2013 setelah pindah dari Bandung, lalu sebelum kembali ke Jakarta sebagai Area Sales Manager. Mutasi yang sampai sekarang pun menjadi “misteri” bagiku karena tidak pernah ada diskusi sebelumnya dengan atasanku langsung maupun atasan dari atasan langsungku. Ya sudahlah, toh hidup ini juga penuh misteri, ‘kan? Sama misteriusnya dengan rencana Tuhan di balik perpindahan ini yang aku amini dan imani pasti yang terbaik dan indah. Bukankah setiap perpindahan adalah “tanah terjanji yang baru”, yakni yang penuh susu dan madu?