Umpasa Berbahasa Inggris, di Mana Ada Itu?

karakter-kearifan-batak-toba

Batak Toba, Karakter Kearifan Indonesia

Drs Mangala Pakpahan, PU

Penerbit Esensi (Erlangga Group)

 

Selama ini kita lebih sering belajar tentang kearifan dari dunia luar (baca: luar negeri). Buku ini menyadarkan bahwa kearifan ternyata tidak selalu harus jauh dari kita. Kebudayaan Batak Toba memiliki kekayaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Buku ini yang ditulis dalam tiga bahasa – salah satunya adalah Inggris – kelihatannya berupaya untuk mengekspor prinsip-prinsip kearifan dalam kultur Batak Toba sebagai “balasan” reaksi yang terjadi selama ini.

 

Oleh sebab itu, jangan kaget kalau ternyata ada umpasa yang berbunyi: Meandering streams will not sustain a rice padi, artinya: Air mengalir sesukanya, pematang sawah menjadi runtuh, yang dalam bahasa aslinya adalah: Aek manuntun lomo angka tolbak gadu-gadu.

 batak-toba-karakter-72

Ada juga: Do not feel elation when you have not been put upon a pedestal, artinya: Jangan merasa oleng padahal tidak diangkat, yang dalam bahasa aslinya adalah: Unang teal so hinindat.

 

Itu adalah dua contoh pembuka dan penutup (alpha dan omega, ‘kan …?) yang akan kita dapati dalam buku yang cantik ini.

 

Inisiatif Bagus dari Penulis

Melihat nama yang tertera di sampul depan, rada kaget juga ketika aku menemukan buku ini teronggok di salah satu Toko Buku Gramedia (selanjutnya disingkat saja dengan TBG) akhir tahun lalu. Aku mengenal penulis, dan beberapa kali bertemu saat mengikuti ibadah Minggu di salah satu jemaat HKBP di Jakarta. Karena “sekadar” pengumpul pepatah yang masih beredar di komunitas Batak Toba, beliau rada enggan jika diperkenalkan dengan uraian singkat pada sampul belakang sebagaimana yang lazim didapatkan oleh penulis buku. Dalam salah satu usai kebaktian Minggu, kami sempat ‘ngobrol (sekaligus mengonfirmasi apakah benar beliaulah yang dimaksud sebagai nama yang tertera pada sampul depan buku tersebut …).

 

Buku ini mencantumkan 72 pepatah Batak Toba (umpasa) yang merupakan pilihan dengan pertimbangan khusus (menurut pengakuan beliau, ada beberapa pepatah yang meskipun populer namun tidak dicantumkan karena tidak sesuai dengan ajaran kristiani dan perkembangan zaman saat ini).

 

Ada 72 pepatah yang dikemas dalam bahasa yang berbeda: bahasa Batak Toba sebagai bahasa aslinya, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggeris. Dengan bahan kertas yang luks, dan foto-foto yang sangat indah, menjadikan buku ini sangat layak dikoleksi. Atau dihadiahkan kepada keluarga (hadiah pernikahan, dan atau hadiah ulang tahun), kerabat, atau bahkan (mungkin) relasi yang menguasai bahasa Inggeris yang punya kerinduan dalam memahami karakteristik Batak Toba. Dengan penjelasan singkat tentang umpama yang dimaksud, aku rasa memadai bagi orang yang tertarik untuk mencari rujukan lainnya kemudian. Dibanderol seharga Rp 86.000,- untuk buku yang kecil dan tipis ini, memosisikannya dalam tingkatan yang eksklusif. Dan sedang dipersiapkan edisi selanjutnya …   

 

“Nasib” Sang Buku

Sangat disayangkan, buku bagus ini ternyata kurang diminati. Rasa ingin tahu mendorongku untuk selalu menyempatkan waktu melihat perkembangannya setiap kali berkunjung ke TBG. Dan, hasilnya sangat memrihatinkan.

 

Pada 19 Februari 2009 saat berkunjung ke TBG di ITC Cempaka Mas Jakarta Pusat, petugas di rak setelah memeriksa sirkulasi stok di komputernya menyebutkan bahwa buku tersebut pertama kali masuk dan dijual ke pengunjung adalah 07 Januari 2009 sebanyak 30 eksemplar. Stock opname terakhir dilakukan pada 25 Januari 2009, lalu dikembalikan kepada penerbitnya (Esensi, sebagai grup dari Penerbit Erlangga) sebanyak 28 eksemplar.

 

Ketika aku sempatkan berkunjung ke TBG di Medan pada tanggal 22 Maret 2009 yang lalu (yakni di Medan Mall dan “pusatnya” di Jl. Gajah Mada), tidak juga ditemukan di sana.

 

Sabtu lalu (04 April 2009) di TBG Mal Kelapa Gading dan Mal Artha Gading di Jakarta Utara aku juga sudah tidak menemukannya lagi di rak. Yang menarik, meskipun di komputer masih tercatat ada 4 eksemplar, ternyata secara fisik di rak sudah tidak ada. Petugasnya mengatakan bahwa kemungkinan besar buku tersebut sudah dikembalikan kepada penerbit, namun statusnya belum dirubah di sistem pengolahan data mereka.

 

Baru hari Minggu ini (05 April 2009) aku menemukan beberapa eksemplar ada di TBG yang terletak di Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saking senangnya, aku sempatkan untuk menjepretnya beberapa kali. Salah satu hasilnya adalah sebagaimana yang kita dapat lihat pada halaman ini. 

 

Alangkah Indahnya

Tidak akan banyak yang membantah bahwa harga seperti itu sebagai mahal bila dibandingkan dengan tampilan buku ini. Sayangnya, dengan harga tersebut akan membatasi peminat buku untuk membelinya. Apalagi jika tujuan utamanya adalah mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak (dan lebih lengkap) tentang pepatah/ungkapan berbahasa Batak Toba, sudah pasti pilihan tidak akan dijatuhkan kepada buku ini.

 

Pada suatu kesempatan berbincang dengan penulis, aku lontarkan usul untuk memperkenalkannya di komunitas yang pas. Dapat saja dimulai dengan jemaat, agar warga jemaat mengetahui bahwa salah satu penulis buku bermutu adalah orang yang sangat dekat dengan kehidupan berjemaat mereka. Kolportase gereja adalah salah satu cara untuk ”mendekatkan” buku ini kepada orang-orang. Selain itu, kepada setiap pasangan yang menerima pemberkatan nikah, buku ini layak diberikan sebagai pendamping Alkitab yang biasanya diberikan sebagai tanda mata dari jemaat. Tentu saja dengan membelinya di TBG terdekat agar buku ini tidak mengalami de-listing di jaringan toko buku terbesar di Indonesia tersebut.

Aku seringkali merasa prihatin tatkala menyadari bahwa space yang disediakan untuk buku-buku rohani Kristen relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan rak yang dipakai untuk memajang (dan menjual) buku-buku terbitan agama lainnya pada TBG. Dan cenderung semakin berkurang dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya aku menolak ketika sang penulis menawarkan untuk membeli buku Batak Toba, Karakter Kearifan Indonesia ini dari beliau (walaupun dengan harga yang lebih murah …), karena ”ancaman” de-listing dari rak yang semakin kompetitif lebih menjadi perhatianku daripada selisih harga yang memang menggiurkan tersebut …

Andaliman-17 Khotbah 19 April 2009 Minggu-Quasimodogeniti

susu-bebas-melamin

Susu Bebas Melamin …

 

Nas Epistel: Titus 3:3-7

Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci. Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita.

 

Nas Evangelium: Yohanes 21:15-19

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?”* Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

 

Lebih sepuluh tahun yang lalu – waktu aku masih berjemaat di HKBP Nanggroe Aceh Darussalam – Pendeta Jemaat menghotbahkan perikop yang menjadi thema Minggu ini dengan mengatakan: “Khotbah kita Minggu ini adalah tentang krisis dan resesi”, lalu beliau melanjutkan, “Ya, karena berhubungan dengan susu, yang sebagaimana kita ketahui harganya akan naik terus dan semakin sulit didapatkan di toko-toko di kota kita ini”. Mendengar itu aku jadi tersenyum, karena teringat perbincangan kami Jum’at malam sebelumnya saat marguru ende Koor Ama. Saat itu beliau menyampaikan uneg-uneg betapa susahnya mendapatkan susu kemasan di toko-toko untuk anak balitanya, dan kalaupun ada, harganya melambung tinggi. Hal yang menjadi kurang relevan, karena aku baru saja mendengar bahwa mulai minggu depan harga susu kemasan akan mengalami penurunan harga berkisar 2%-6%.

 

Minggu ini bernama Quasimodogeniti yang berarti songon posoposo na imbaru tubu yang dikutip dari 1 Petrus 2:2 Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan,

 

Perikop yang menjadi Ev bercerita tentang dialog Yesus paska-kebangkitan dengan Simon Petrus, murid yang seringkali bertindak dan berucap secara spontan. Masih ingat komitmennya untuk selalu dengan setia mengikuti Yesus pada pra-kematian, yang faktanya kemudian menyangkal Yesus sampai tiga kali? Demikian juga kali ini ketika Yesus menanyakan tentang kasihnya kepada-Nya, Petrus dengan lantang menyatakan bahwa ia mengasihi-Nya.

 

Menurut rujukan, dua kata Yunani dipakai untuk mengekspresikan kasih dalam perikop ini. Yaitu agapao berarti kasih yang rasional dan bertujuan, terutama dari pikiran dan kehendak; dan phileo yang melibatkan perasaan kasih yang hangat yang lazim dari emosi (= kasih yang lebih pribadi dan penuh perasaan). Melalui kedua kata ini Yesus menunjukkan bahwa kasih Petrus jangan hanya dari kehendak saja, namun juga hendaknya dari hati, kasih yang timbul baik dari maksud maupun dari hubungan pribadi.

 

Yesus memerlukan tiga kali ajuan pertanyaan yang kesemuanya dijawab Petrus bahwa ia mengasihi-Nya. Ada perasaan sedih pada dirinya ketika Yesus harus mengajukan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya yang mengingatkan Petrus tentang penyangkalannya sampai tiga kali juga sebelum Yesus disalibkan. Nah, inilah yang menarik …

 

Yesus dengan sengaja “melukai hati” Yohanes untuk menyadarkannya supaya jangan angkuh dan terlalu mudah memberikan komitmen. Harus dengan hati! Itulah yang acapkali terjadi pada diriku ini. Mudah memberikan janji (dan semudah itu pula mengingkari …). Menerima tugas pelayanan di jemaat, namun kemudian tidak mampu menjalankannya dengan sungguh-sungguh, lalu mengeluh setelah menyadari betapa tersitanya waktu untuk melayankan semua “jabatan” yang diterima dan disandang.  

 

Luar biasanya Yesus, setelah “melukai” dan menyadarkan Petrus, Beliau mengulurkan tangan dan memberikan kepercayaan kepada Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Domba merepresentasikan binatang yang lemah dan tidak berdaya sehingga sangat membutuhkan penjagaan yang terus menerus dari gembala yang berkompeten, taat dan setia. Yesus mengingatkan Petrus bahwa sejak menjadi gembala, dia akan sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ilustrasi yang dipergunakan Yesus adalah: masa muda yang bebas bepergian ke mana saja, lalu ketika umur semakin tua maka membutuhkan orang lain yang menuntunnya dan menentukan ke mana dia harus pergi.

 

Hal yang sama terjadi padaku. Sejak menerima status sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi, maka secara sadar sendiri aku menerima dan menjalankan berbagai konsekuensinya. Ada suatu kekuatan yang mengingatkanku: ”Hei, kau ini mahasiswa STT, ’nggak pantas lagi melakukan itu”. Apalagi setelah diwisuda dan diberangkatkan, konsekuensinya menjadi semakin banyak untuk ”mendapatkan pengakuan” dari lingkungan sekitar. Bukan hanya di lingkungan gereja, melainkan juga di lingkungan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

 

Pengalaman hidup Petrus – oh, ya … banyak tradisi yang menyebutkan bahwa beliau akhirnya mati disalib dengan posisi terbalik di mana kepala di bawah sesuai permintaannya sendiri yang menganggap dirinya tidak pantas untuk menerima perlakukan yang sama dengan Yesus bahkan ketika disalib – yang menyangkali Yesus namun kemudian mendapatkan kasih karunia pengampunan, bahkan menjadi gembala dan menyebarluaskan kerajaan Allah; yang menjadi pesan perikop Ep Minggu ini. Jika melihat perbuatan kita yang cenderung jahat dan gemar melakukan perbuatan dosa, sepantasnyalah mendapatkan hukuman berat. Namun karena kasih karunia, kita berhak mendapatkan pengampunan dan berpengharapan akan kehidupan yang kekal.

 

Dianalogikan sebagai seorang bayi yang hidupnya sangat bergantung pada asupan susu murni (karena belum bisa mengonsumsi nutrisi lainnya), demikianlah kita dengan iman yang baru mendapatkan kasih karunia sebagai anugerah keselamatan dengan kebangkitan Yesus di kayu salib harus selalu merindukan asupan firman Allah agar semakin bertumbuh dari hari ke hari. Firman Allah yang benar dan murni sesuai yang tertulis pada Alkitab. Bukanlah ajaran yang sesat. Sebagaimana aku memahami frasa ”susu yang murni” ini adalah sebagai susu yang tidak terkontaminasi oleh zat-zat perusak lainnya. Bebas bakteri sakazaaki, dan bebas melamin …     

 

Tantangan/Bekal untuk (Warga) Jemaat/Referensi

Apa yang masih membekas pada kita dari rangkaian peringatan Jum’at Agung dan Paskah minggu lalu? Karya keselamatan Yesus Kristus bagi umat manusia adalah yang paling dominan dalam pemahaman orang banyak sebagai pesan utama yang didapatkan dari ibadah yang berkelanjutan (bahkan ada satu minggu penuh …

 

Inilah saatnya bagi kita untuk meninjau-ulang komitmen sebagai pengikut Yesus dan pelayanan kepada jemaat Kristus:

(1)    Apakah sebagai Petrus yang dengan sangat spontan menanggapi pertanyaan Yesus dengan pernyataan kasihnya? Atau kembali sebagai Petrus yang sama spontannya menanggapi Yesus pra peristiwa penyaliban?

(2)    Kadangkala (atau bahkan seringkali?) kita “dilukai“ dengan berbagai peristiwa yang mendukakan dan juga harus menjalani pencobaan yang berat. Sanggupkah kita menerima hal itu semua sebagai cara Tuhan dalam mengingatkan diri kita betapa lemahnya kita sehingga harus benar-benar menyandarkan diri pada-Nya? Kalau kita bisa merasakan luka, apakah kita juga pernah menyadari bahwa perbuatan dosa kita yang jahat adalah juga melukai hati Tuhan?

Dengan status kita sekarang (sebagai anak Tuhan, sebagai pelayan jemaat, dan jabatan lainnya), masihkah kita merasakan tuntutan perbedaan sebagai konsekuensi yang membedakan kita dengan masa sebelumnya? Artinya, dengan status yang kita sandang saat ini tersebut, kita menyadari bahwa kita tidak lagi memiliki kebebasan yang sama dengan masa sebelumnya? Jika jawabannya “tidak“, segeralah lakukan fit and proper test sebelum terlambat!