Yang Telah Lama ‘Kunanti, Akhirnya Tersedia Kini …

Btk Msc in Harmony CD

Special Edition of The Batak Music in Harmony Concert February 12, 2009 (CD)

Brief Communication, 2009

Sabtu (16 Mei 2009) yang lalu – usai mengambil hasil CT Scan mak Auli dan konsultasi dengan dokter spesialis THT di RSMK Kelapa Gading serta fisioterapi lanjutan untuk syaraf pinggangku yang terjepit – aku dengan Auli anakku dan mamanya makan siang di lapo yang terletak di Jl. Pramuka, Jakarta Timur. Sudah menjelang jam tiga sore, yang artinya sudah sangat lewat dari jam makan siang yang normal. Namun, ternyata parkir di depan beberapa lapo masih dipadati oleh kendaraan yang parkir. Ternyata berita dengan intensitas yang sangat tinggi tentang wabah virus H1N1 alias flu babi tidak menyurutkan penggemar makanan khas Batak untuk menurutkan keinginannya. Sekaligus ini mengkonfirmasi apa yang aku sampaikan sebelumnya ke mak Auli bahwa orang Batak sudah lebih logis dengan memahami bahwa virus tersebut sudah mati jika daging babi tersebut sudah dimasak di atas suhu 80 derajat Celcius. Jadi, kenapa mesti ragu?

Rekaman yang Sudah Lama Aku Cari

Sambil menunggu manuk pinadar dan kawan-kawannya dihidangkan, aku ke depan lapo untuk melihat-lihat kaset dan CD rekaman lagu-lagu Batak dan rohani yang dijajakan (tepatnya: dipamerkan karena tidak seorangpun yang menjagainya …) di depan pintu masuk lapo tadi. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada poster sederhana (hasil print-an komputer) bahwa di tempat itu sudah tersedia CD konser The Batak Music in Harmony ini. Waktu cepat berlalu, karena pikiranku segera terbawa saat mengikuti konser yang dilangsungkan pada 12 Februari yang lalu. Menyadari bahwa tidak tersedia pemutar-CD (CD player) dan tape recorder untuk mencoba-pasang (yang sekaligus makin menguatkan “kekurang-seriusan” parlapo dalam menjajakan barang dagangannya tersebut, sehingga memantapkanku untuk membeli CD ini dan mengurungkan niat untuk membeli CD dan kaset lainnya yang menurutkan ada beberapa yang bagus dan layak untuk dikoleksi.

Tapi sudahlah, dengan bayangan dan harapan mendapatkan suguhan yang sama indahnya dengan saat menikmatinya langsung pada konser tersebut (sebagaimana yang sudah aku tulis pada Belajar Dari Konser Musik Batak in Harmony Tadi Malam, dengan sukacita aku membawa dan memasangnya di mobil. Ternyata hanya ada 10 suguhan yang dibuka dengan “theme song” Batak Music in Harmony  sebagai overture, lalu irama bossa Basta-basta yang dinyanyikan Mega Sihombing dengan iringan musisi bule Mauro Goia. Permainan gitar Yeppi Pangaribuan yang dijuluki “si jari setan” karena kepiawaiannya memainkan jari jemari membawakan Boan membawaku pada kekaguman saat menyaksikannya di konser tersebut yang seolah-olah jarinya tidak menyentuh grip gitarnya namun menghasilkan irama yang sangat indah. Luar biasa!

Ada beberapa lagu yang dilantunkan pada saat konser yang, jujur saja, belum pernah aku dengar sebelumnya. Salah satunya adalah Dideng yang dibawakan oleh Mega Sihombing dengan sangat mengesankan. Tentang senandung sendu seorang ibu saat meninabobokkan puterinya sambil mencurahkan isi hatinya yang sedang gundah akan suaminya. Ini jugalah “pelipur lara” bagiku saat mengetahui bahwa isi CD rekaman ini adalah para penampil awal di konser tersebut. Jadi, minus Jack Marpaung (dan juniornya …), Victor Hutabarat, dan penampil lain yang memang bagus-bagus.

Satu lagi pelipur lara, yaitu Sada, satu suguhan sentimentil yang mengingatkan kita bahwa hanya ada satu yang mempunyai kemampuan dan kuasa di muka bumi ini. Dengarlah syairnya yang terasa menegur kita semua …

sada na boi pangalu-aluan di tano on,

sada na boi pasalpuhon hadangolon on,

sada na boi pasalpuhon lungun di tano on,

holan sada do tahe na boi patulus tangiang sude anakkon

ndang adong, holan sada do tahe …

Tahu siapa maksudnya, ‘kan?

Alangkah Indahnya …

Pada malam sebelum konser usai, saat itu ada pemberitahuan dari Panitia bahwa sudah tersedia rekamannya adalam bentuk CD. “Bah, hebat juga kerjaan Panitianya, langsung punya rekaman konser malam ini”, celutukku pada kawan yang duduk di sebelahku sambil mencari tahu bagaimana dan di mana mendapatkannya. Namun karena asyik ‘ngobrol dengan kawan-kawan mantan teman kuliah di Medan (memang malam itu sebagai bagian acara kumpul-kumpul komunitas kami) sehingga aku jadi tarlalap dan lupa membelinya malam itu. 

Mungkin inilah CD yang dulu aku cari. Karena direkam secara live – dan mungkin dalam suasana hinipu – kualitasnya jauh di bawah produksi studio rekaman. Di mobil, aku harus menggeser volumenya ke angka 23 dari yang biasanya 13 agar aku bisa mendengar suara rekamannya dan membawaku pada kenangan ketika menghadiri konser malam itu. Di rumah, mak Auli juga memberikan komentar yang hampir mirip tentang kualitas rekamannya ketika aku mendengarkannya-ulang dengan menggunakan pemutar yang lain.

Kemasannya yang sangat sederhana juga sayangnya tidak mengesankan sebagai rekaman dari suatu konser bagus yang layak dijadikan barometer musik. Kekuranglengkapan lagu-lagu dengan penampil lainnya – dari berbagai usia dan aliran musik – menjadikannya tidak utuh sebagaimana adanya konser tersebut. Tapi, cukuplah sekadar pengingat bahwa pernah ada konser musik Batak yang bagus sambil berharap adanya konser Batak Music in Harmony berikutnya sebagai penjawab kerinduan akan suguhan pemusik Batak yang masih punya eksistensi di tanah air tercinta. Bagi yang tidak menghadirinya saat itu, boleh jugalah mengoleksi CD ini untuk menikmatinya sambil bersama berharap bisa menikmati konser yang lebih bagus di kemudian hari …

Si Batak, Calon (Wakil) Presiden, dan Para Jenderal …

29032009039

Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

Hendro Subroto

Penerbit Buku Kompas, Maret 2009

 

Sebagai penikmat sejarah – dan hal-hal lain sebagai ”ikutannya” – aku menyukai jika semua pelaku sejarah menuliskan pengalamannya dalam bentuk buku seperti ini. ’Nggak apa walaupun kita menduga belum tentu benar semua yang dicantumkan di dalamnya, paling tidak, ada secuil kebenaran yang pasti akan terbukti di kemudian hari. Bisa saja melalui pelaku lainnya dengan kesaksian akan kebenaran yang lebih bisa dibuktikan. Luangkanlah waktu sebentar ke toko buku, di sana saat ini banyak sekali buku sebagai tanggapan terhadap buku Para Komando Sintong Panjaitan ini. Semua datang dengan versi masing-masing. Dan seringkali aku masih bisa tersenyum jika membaca beberapa di antaranya secara sekilas. Sifat dasar manusia selalu berupaya menunjukkan kebenaran dirinya …

 

Inisiatif Bagus dari Letjen (Purn) Sintong Panjaitan

Sejak di-soft launch, buku ini langsung menimbulkan kehebohan. Selain karena isinya, waktu yang dipilih (menjelang Pemilu Legislator) memang dengan mudah orang dapat menuduh ada maksud tertentu yang berbau politis di dalamnya. Dengan mudah orang merujuk bahwa ini merupakan salah satu upaya untuk mendiskreditkan Wiranto dan Prabowo yang sedang mencalonkan diri menjadi calon presiden (Status per hari ini, akhirnya Wiranto yang semula capres dari Partai Hati Nurani Rakyat yang didirikannya, menjadi lebih “tahu diri” dengan kesediaannya menjadi cawapres mendampingi Jusuf Kala. Sementara itu, Prabowo yang mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya mulai dibicarakan dalam Rapat Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai capres bersama Puan Maharani yang adalah putri bungsu Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres) yang dalam buku ini dikisahkan tidak terlalu positif  dalam karir militernya di masa lalu.

 

Antara lain disebutkan, Wiranto yang “melepaskan tanggung jawab” dengan meninggalkan Jakarta yang genting sebagai ekses peristiwa Mei 1998, dan malah pergi ke Jawa Timur untuk menghadiri suatu upacara yang bobotnya pasti tidak lebih penting daripada keharusannya berada di ibukota negara (h. 28). Juga “ketakutannya” menggunakan SK Presiden (h. 5) untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengamankan negara (yang ini persis dengan Supersemar yang pada akhirnya mengantarkan Soeharto ke kursi presiden RI).

 

Prabowo mencatatkan diri dengan tindakannya yang aneh dengan mengembuskan “kudeta L. B. Murdani” yang memang tidak terbukti kebenarannya (yang ini juga mungkin ”diilhami” oleh keberhasilan mertuanya – Soeharto – dengan ide Dewan Jenderal …). Selain itu, berbagai tindakan yang tidak lazim dalam dunia militer juga ditampilkan Prabowo dalam buku ini.

 

Pemilihan atas Hendro Subroto sebagai penulis (yang konon menggantikan penulis sebelumnya yang terpaksa diganti karena kekurangpemahaman dunia militer dan menjadikan proses penyelesaiannya tertunda beberapa waktu), adalah tepat. Sebagai wartawan perang, pengalamannya yang sudah mengikuti perjalanan karir Sintong sejak masih perwira muda, menjadikan buku ini terasa lebih hidup.

 

Melalui buku ini aku menjadi tahu bahwa Sintong ternyata terlibat aktif dalam penggalian sumur Lubang Buaya untuk mengangkat mayat para jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Juga memimpin peletonnya merebut Gedung RRI di Jakarta yang sebelumnya telah dikuasai pemberontak. Selain itu, terbukti bahwa latar belakang agama ternyata masih sangat menentukan di negara ini. Bahkan dalam penentuan karir militer yang dipahami adalah lingkungan yang “steril dari isme”. Dalam salah satu bagian dikisahkan batalnya Mayjen TNI S. N. Suwisma menjadi Komandan Jenderal Kopassus meskipun telah diputuskan dalam rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), namun dibatalkan karena Prabowo memberikan masukan kepada Soeharto bahwa Suwisma yang beragama Hindu tidak sesuai dengan sebagian besar agama anggota Kopassus (h. 28-29). Muchdi P. R (yang belakangan kemudian diduga terlibat pada pembunuhan aktivis Munir) akhirnya yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut.

 

Sebagai epilog, disebutkan juga bahwa pada masa itu unsur nepotisme sangat kental dalam memengaruhi kepangkatan dan posisi yang dapat dipegang oleh seseorang. Seringkali bukan ditentukan oleh penilaian obyektif (h. 474).     

 

Si Batak …

Semua orang tahu bahwa Sintong adalah orang Batak. Dalam pergaulan kesehariannya di militer, para juniornya memanggilnya dengan “bang” sebagai singkatan dari “abang”, yakni panggilan yang biasa diberikan bagi laki-laki suku Batak (sebagaimana aku juga saat ini sering dipanggil oleh kawan-kawan yang bukan etnik Batak di kantor …).

 

Yang unik, Jenderal L. B. Murdani seringkali memanggilnya dengan ”Hai Batak, kamu tidak pernah bicara Daerah Istimewa dengan saya, tapi tiba-tiba berbicara Daerah Istimewa dengan Soeharto …” (h. 359), yaitu ketika Sintong dimarahi Soeharto karena memberikan pendapat yang tidak cocok dengan ide Presiden Soeharto. Dan “… Mana baret merah itu tadi? Ambil dulu, nanti marah si Batak ini.” (h. 327), yakni ketika L. B. Murdani mencampakkan baret merah yang diberikan Sintong dalam suatu upacara Kopassus karena masih menyimpan sakit hati kepada korps baret merah.

 

Meskipun seringkali panggilan dengan menyebutkan suku seperti itu bisa diartikan sebagai rasis, tapi aku jarang sekali menanggapi hal tersebut sebagai sikap merendahkan. Bahkan lebih sering dengan sikap positif sebagaimana yang tercermin pada dua dialog di atas.

 

Jenderal Pendoa

Menurut penulis, Sintong adalah seorang yang taat pada agamanya. Dalam setiap operasi militer selalu disempatkannya untuk mendahului dengan doa, termasuk ketika memimpin operasi pembebasan pesawat terbang Garuda “Woyla” di Bandara Don Muang, Bangkok. Berdoa dilakukan secara berbisik supaya tidak ketahuan dan terdengar oleh para pembajak (h. 477).

 

Terus terang, tidak banyak yang aku tahu perwira tinggi yang mempunyai kebiasaan berdoa seperti itu. Selain karena profesinya yang terkesan angker, keras, “sadis”, kejam, dan karakter lainnya yang sangat jauh berbeda dengan sikap rohani – yang biasanya dipahami sebagai lemah lembut, pema’af, manis budi, dan hal menyenangkan lainnya – juga tidak banyak biografi jenderal yang mencantumkan hal yang dipersepsikan sangat pribadi tersebut. Salah satunya adalah Mayjen D. I. Panjaitan yang menyempatkan diri berdoa dengan pakaian dinas lengkap sebelum akhirnya diekekusi oleh pasukan pembunuh dalam peristiwa G30S/PKI sebagaimana dulu setiap tahun kita saksikan di bioskop dan TVRI untuk mengenang peristiwa G30S/PKI.

 

Alangkah Indahnya …

Karena isinya, buku ini sangat menarik untuk dibaca sampai habis. Cara bertutur yang dipakai penulis mengesankan dia punya jarak terhadap pelaku sejarah yang diceritakannya. Hal ini mampu mengurangi kesan melebih-lebihkan diri bila bentuknya adalah otobiografi. Cuma, sayangnya, sampai halaman terakhir aku tidak (atau belum?) menemukan “sisi lain” sehingga membuat isinya menjadi berimbang, tidak mengesankan hanya mencatat prestasi seorang Sintong. Memang ada peristiwa insiden 12 November 1991 di Dili yang lebih dikenal dengan “tragedi Santa Cruz” yang menjerembabkan karir militernya, namun penyajiannya sangat kental mengesankan bahwa itu semua bukan kesalahannya; dan menduga adanya sabotase (h. 401). Bahkan Sintong menyebutkan bahwa cara kerja Dewan Kehormatan Perwira (tim yang terdiri dari perwira tinggi TNI yang bertugas menyelidiki keterlibatan perwira TNI AD dalam peristiwa yang mencoreng muka Indonesia di mata internasional) sebagai “serba tidak jelas” (h. 409).

 

Selain banyak sekali terjadi kesalahan cetak – yang bisa ditafsirkan sebagai dibuat secara terburu-buru – seringkali paragraf-paragraf berisi pemaparan yang tidak mudah dicerna oleh pembaca sepertiku yang sangat jauh dari kehidupan militer. Satu di antaranya adalah yang tercantum pada halaman 81 ketika dicobajelaskan tentang persenjataan militer: “… menggunakan senjata standar berupa senapan US M1 Garand, senapan mesin regu berupa Bren kaliber 7,62 mm dan diperkuat dengan Mortir 5 tingkat … senapan serbu Kalashnikov AK-47, senapan mesin regu Degtyarev RPD atau AKM dengan bi-pods kaliber 7,62 mm … peluncur roket RPG-2 90 mm … dengan daya tembus tiga kali lebih besar dibanding dengan proyektil HEAT 57 mm recoilles rifle.”  Pusing, ‘kan? Memang ada catatan-kaki, tetapi seringkali hanya menjelaskan kepanjangan dari singkatan yang disebutkan, bukan penjelasan. Dan ini seringkali terjadi.

 

Bacalah …

Ruang ini terasa sangat sempit untuk menyampaikan lebih banyak tentang apa yang tercantum dalam buku bagus ini. Selain berbagai peristiwa kontemporer yang selama ini masih ”gelap” coba dikuakkan, juga sikap hormat namun kritis Sintong terhadap Soeharto – misalnya menolak menghadap putera Presiden, yakni Bambang Trihatmojo di Jakarta untuk urusan yang tidak berhubungan dengan tugasnya sebagai Pangdam Udayana; dan juga keberaniannya untuk tidak hadir dan mewakilkan kepada orang lain ketika pak Harto melakukan kunjungan in-cognito di Bali sehingga membuat RI-1 tersebut marah – layak untuk dijadikan bahan perenungan dan bahan pembelajaran. Juga berbagai peristiwa lainnya. 

Buku yang aku miliki saat ini adalah cetakan keempat (oh ya, cetakan pertama dilakukan pada bulan yang sama dengan cetakan keempat tersebut, yakni Maret 2009 … luar biasa!). Perjuanganku dengan mengantri di kasir yang saat itu sangat dipadati oleh para pengunjung di toko buku – baru kali ini aku alami seperti ini – menjadi sebanding dengan mendapatkan buku dengan isi yang sangat menginspirasi. Ini bukanlah buku biografi pertama yang aku miliki dari kalangan tentara, namun sangat layak disejajarkan dengan buku-buku yang sudah aku miliki dan baca sebelumnya.

Umpasa Berbahasa Inggris, di Mana Ada Itu?

karakter-kearifan-batak-toba

Batak Toba, Karakter Kearifan Indonesia

Drs Mangala Pakpahan, PU

Penerbit Esensi (Erlangga Group)

 

Selama ini kita lebih sering belajar tentang kearifan dari dunia luar (baca: luar negeri). Buku ini menyadarkan bahwa kearifan ternyata tidak selalu harus jauh dari kita. Kebudayaan Batak Toba memiliki kekayaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Buku ini yang ditulis dalam tiga bahasa – salah satunya adalah Inggris – kelihatannya berupaya untuk mengekspor prinsip-prinsip kearifan dalam kultur Batak Toba sebagai “balasan” reaksi yang terjadi selama ini.

 

Oleh sebab itu, jangan kaget kalau ternyata ada umpasa yang berbunyi: Meandering streams will not sustain a rice padi, artinya: Air mengalir sesukanya, pematang sawah menjadi runtuh, yang dalam bahasa aslinya adalah: Aek manuntun lomo angka tolbak gadu-gadu.

 batak-toba-karakter-72

Ada juga: Do not feel elation when you have not been put upon a pedestal, artinya: Jangan merasa oleng padahal tidak diangkat, yang dalam bahasa aslinya adalah: Unang teal so hinindat.

 

Itu adalah dua contoh pembuka dan penutup (alpha dan omega, ‘kan …?) yang akan kita dapati dalam buku yang cantik ini.

 

Inisiatif Bagus dari Penulis

Melihat nama yang tertera di sampul depan, rada kaget juga ketika aku menemukan buku ini teronggok di salah satu Toko Buku Gramedia (selanjutnya disingkat saja dengan TBG) akhir tahun lalu. Aku mengenal penulis, dan beberapa kali bertemu saat mengikuti ibadah Minggu di salah satu jemaat HKBP di Jakarta. Karena “sekadar” pengumpul pepatah yang masih beredar di komunitas Batak Toba, beliau rada enggan jika diperkenalkan dengan uraian singkat pada sampul belakang sebagaimana yang lazim didapatkan oleh penulis buku. Dalam salah satu usai kebaktian Minggu, kami sempat ‘ngobrol (sekaligus mengonfirmasi apakah benar beliaulah yang dimaksud sebagai nama yang tertera pada sampul depan buku tersebut …).

 

Buku ini mencantumkan 72 pepatah Batak Toba (umpasa) yang merupakan pilihan dengan pertimbangan khusus (menurut pengakuan beliau, ada beberapa pepatah yang meskipun populer namun tidak dicantumkan karena tidak sesuai dengan ajaran kristiani dan perkembangan zaman saat ini).

 

Ada 72 pepatah yang dikemas dalam bahasa yang berbeda: bahasa Batak Toba sebagai bahasa aslinya, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggeris. Dengan bahan kertas yang luks, dan foto-foto yang sangat indah, menjadikan buku ini sangat layak dikoleksi. Atau dihadiahkan kepada keluarga (hadiah pernikahan, dan atau hadiah ulang tahun), kerabat, atau bahkan (mungkin) relasi yang menguasai bahasa Inggeris yang punya kerinduan dalam memahami karakteristik Batak Toba. Dengan penjelasan singkat tentang umpama yang dimaksud, aku rasa memadai bagi orang yang tertarik untuk mencari rujukan lainnya kemudian. Dibanderol seharga Rp 86.000,- untuk buku yang kecil dan tipis ini, memosisikannya dalam tingkatan yang eksklusif. Dan sedang dipersiapkan edisi selanjutnya …   

 

“Nasib” Sang Buku

Sangat disayangkan, buku bagus ini ternyata kurang diminati. Rasa ingin tahu mendorongku untuk selalu menyempatkan waktu melihat perkembangannya setiap kali berkunjung ke TBG. Dan, hasilnya sangat memrihatinkan.

 

Pada 19 Februari 2009 saat berkunjung ke TBG di ITC Cempaka Mas Jakarta Pusat, petugas di rak setelah memeriksa sirkulasi stok di komputernya menyebutkan bahwa buku tersebut pertama kali masuk dan dijual ke pengunjung adalah 07 Januari 2009 sebanyak 30 eksemplar. Stock opname terakhir dilakukan pada 25 Januari 2009, lalu dikembalikan kepada penerbitnya (Esensi, sebagai grup dari Penerbit Erlangga) sebanyak 28 eksemplar.

 

Ketika aku sempatkan berkunjung ke TBG di Medan pada tanggal 22 Maret 2009 yang lalu (yakni di Medan Mall dan “pusatnya” di Jl. Gajah Mada), tidak juga ditemukan di sana.

 

Sabtu lalu (04 April 2009) di TBG Mal Kelapa Gading dan Mal Artha Gading di Jakarta Utara aku juga sudah tidak menemukannya lagi di rak. Yang menarik, meskipun di komputer masih tercatat ada 4 eksemplar, ternyata secara fisik di rak sudah tidak ada. Petugasnya mengatakan bahwa kemungkinan besar buku tersebut sudah dikembalikan kepada penerbit, namun statusnya belum dirubah di sistem pengolahan data mereka.

 

Baru hari Minggu ini (05 April 2009) aku menemukan beberapa eksemplar ada di TBG yang terletak di Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saking senangnya, aku sempatkan untuk menjepretnya beberapa kali. Salah satu hasilnya adalah sebagaimana yang kita dapat lihat pada halaman ini. 

 

Alangkah Indahnya

Tidak akan banyak yang membantah bahwa harga seperti itu sebagai mahal bila dibandingkan dengan tampilan buku ini. Sayangnya, dengan harga tersebut akan membatasi peminat buku untuk membelinya. Apalagi jika tujuan utamanya adalah mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak (dan lebih lengkap) tentang pepatah/ungkapan berbahasa Batak Toba, sudah pasti pilihan tidak akan dijatuhkan kepada buku ini.

 

Pada suatu kesempatan berbincang dengan penulis, aku lontarkan usul untuk memperkenalkannya di komunitas yang pas. Dapat saja dimulai dengan jemaat, agar warga jemaat mengetahui bahwa salah satu penulis buku bermutu adalah orang yang sangat dekat dengan kehidupan berjemaat mereka. Kolportase gereja adalah salah satu cara untuk ”mendekatkan” buku ini kepada orang-orang. Selain itu, kepada setiap pasangan yang menerima pemberkatan nikah, buku ini layak diberikan sebagai pendamping Alkitab yang biasanya diberikan sebagai tanda mata dari jemaat. Tentu saja dengan membelinya di TBG terdekat agar buku ini tidak mengalami de-listing di jaringan toko buku terbesar di Indonesia tersebut.

Aku seringkali merasa prihatin tatkala menyadari bahwa space yang disediakan untuk buku-buku rohani Kristen relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan rak yang dipakai untuk memajang (dan menjual) buku-buku terbitan agama lainnya pada TBG. Dan cenderung semakin berkurang dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya aku menolak ketika sang penulis menawarkan untuk membeli buku Batak Toba, Karakter Kearifan Indonesia ini dari beliau (walaupun dengan harga yang lebih murah …), karena ”ancaman” de-listing dari rak yang semakin kompetitif lebih menjadi perhatianku daripada selisih harga yang memang menggiurkan tersebut …

SEGERA HADIR! “KOLEKSI”, Milik Untuk Berbagi

koleksi-170309

Bagiku, Maret adalah bulan yang lebih istimewa di antara bulan lainnya. Dua dari tiga perempuan perkasa dalam hidupku – yaitu mamakku dan puteriku satu-satunya – dilahirkan pada bulan ini. Pada tahun yang (jauh) berbeda tentunya.

 

Sebagai rangkaian perayaan dan rasa syukur untuk sukacita tersebut, maka mulai bulan ini akan ada KOLEKSI; yakni media tempat aku berbagi sebagian dari apa yang aku sudah miliki. Tentu saja yang kiranya bermanfaat bagi engkau. Yang sudah aku bayangkan itu adalah buku, cakram, dan pita kaset. Topiknya, yang tidak jauh dari apa yang selama ini aku geluti. Tentang budaya, agama, musik, dan hidup keseharian. Dalam bentuk tulisan. Resensi, sinopsis, referensi, atau apalah namanya.

 

Sesuai namanya, aku pastikan aku memiliki materinya (sebisanya adalah milik sendiri, alias koleksi pribadi). Dan sudah aku masuki dengan menikmatinya secara bersungguh-sungguh. Aku akan menyajikan – seperti biasa – dengan ringan, sehingga tidak akan terlalu membebani.

 

Selamat menikmati.